STATUS PALING MUTAKHIR PENYAKIT PERNAFASAN AVIAN INFLUENZA

Infovet

STATUS PALING MUTAKHIR PENYAKIT PERNAFASAN AVIAN INFLUENZA


Perkembangan penyakit pernafasan Avian Influenza sejak 2003 sampai 2007, sejauh ini menampakkan gejala yang mencengangkan. Penyakit seperti tidak ada hentinya terus membuat kalangan peternakan dan masyarakat umum, Indonesia dan dunia, terus berusaha keras menghadapinya dengan gagah berani.

Seminar internasional vaksinasi flu burung (avian influenza/AI) pun diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian bekerja sama dengan Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia dan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), Senin hingga Selasa (11-12) Juni di Jakarta.
Ditambah dengan beberapa komentar oleh beberapa tokoh di luar seminar internasional itu, pembaca mendapatkan gambaran paling mutakhir tentang status penyakit pernafan paling mutakhir ini. Tentu sangat bermanfaat untuk menghadapinya dengan penuh keberhasilan.

Dr Ir Anton Apriyantono MS
Menteri Pertanian
“Wabah HPAI yang merebak di Indonesia mulai pertengahan tahun 2003 telah menyebar cepat ke berbagai daerah di Indonesia. Awal tahun 2004 Indonesia pemerintah memutuskan untuk memilih vaksinasi massal terutama pada sektor 4 (backyard) sebagai salah satu upaya pengendalian penyakit.
Pertimbangannya, Pulau Jawa merupakan lokasi sentra perunggasan (60%) dan wabah penyakit AI pada awal tahun 2004 telah menyebar ke seluruh propinsi di Pulau Jawa sehingga tidak mungkin dilakukan tindakan pemusnahan secara total terhadap seluruh unggas atau ‘stamping out’. Vaksin yang digunakan pada saat itu adalah vaksin produksi dalam negeri dengan menggunakan biang/bibit vaksin (seed) berasal dari isolat virus lokal subtipe H5N1.
Tujuan utama dilakukannya vaksinasi adalah untuk memberikan kekebalan pada unggas, melindungi unggas dari gejala klinis AI, mencegah dan menekan kematian unggas dan menekan pengeluaran virus (virus shedding) di lingkungan.
Meskipun demikian vaksinasi massal bukan satu-satunya cara pengendalian AI, karena harus disertai dengan tindakan peningkatan biosekuriti, depopulasi terbatas, surveilans, pengawasan lalulintas unggas dan produk serta bahan-bahan lainnya.
Sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh FAO dan OIE vahwa vaksinasi terhadap HPAI dilakukan dengan menggunakan seed vaksin yang berasal dari low pathogenic avian influenza (LPAI) virus.
Berdasarkan rekomendasi tersebut dan didukung oleh penelitian-penelitian terbatas yang dilakukan oleh beberapa ahli maka pemerintah Indonesia mengubah kebijakan vaksinasinya dengan menggunakan vaksin yang berasal dari LPAI virus.
Meskipun demikian pemerintah Indonesia akan terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penggunaan vaksin tersebut.
Pada awalnya OIE tidak merekomendasikan vaksinasi sebagai salah satu upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit Ainamun dalam perkembangannya OIE/FAI/WHO akhirnya merekomendasikan vaksinasi sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan atau memberantas HPAI dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
Bahkan Konferensi Internasional tentang Vaksinasi AI di Verona, Italia pada Maret 2007 merekomendasikan bahwa vaksinasi unggas yang dikombinasikan dengan upaya pengendalian lainnya merupakan tindakan penting untuk memerangi virus H5N1.
Konferensi juga merekomendasikan bahwa di negara-negara endemik di mana tindakan pengendalian lainnya tidak dapat dilakukan dengan optimum. Maka vaksinasi pada unggas merupakan upaya pengendalian yang tepat terhadap AI dengan syarat menggunakan vaksin berkualitas sesuai standar OIE dan tersedianya infrastruktur yang baik untuk menjamin pengiriman vaksin secara cepat dan aman.
Dalam pelaksanaan vaksinasi di Indonesia, vaksinasi massal pada unggas sektor 4 tidak berjalan sesuai yang diharapkan karena adanya kendala keterbatasan jumlah vaksin, peralatan dan fasilitas, tenaga vaksinator dan dana operasional.
Oleh karena itu sejak tahun 2006 vaksinasi ditargetkan (targeted vaccination) hanya dilaksanakan di daerah yang berisiko tinggi di 11 propinsi (seluruh propinsi di P. Jawa, Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bali, dan Sulawesi Selatan).”

Ir Mathur Riady MA
Direktur Jenderal Peternakan
“Sejak akhir tahun 2003 wabah Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) melanda beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia. Wabah ini disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe H5N1 yang sangat mengancam kesehatan unggas dan manusia diseluruh dunia.
Sejak pertama kali ditemukan, HPAI telah menjadi endemis di seluruh daerah pedesaan di Indonesia. Meskipun upaya eradikasi dan vaksinasi telah dilakukan namun wabah masih terus bermunculan berupa letupan-letupan kasus yang muncul sporadis.
Sedikitnya 300 juta unggas kampung hidup berdampingan dengan dengan 248 juta warga Indonesia di negara yang luasnya seperlima AS.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan populasi penduduk terpadat di dunia dengan beragam kebudayaan mencakup budaya beternak untuk pangan, budidaya, hiburan, dan upacara keagamaan. Kondisi ini memungkinkan banyak manusia terpapar virus AI setiap hari.
Untuk mengontrol penyakit ini, salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah program vaksinasi di wilayah berisiko tinggi (targeted vaccination). Sebelumnya upaya ini mendapat tentangan dari berbagai negara di dunia khususnya negara maju. Namun Indonesia tetap kukuh pada jalan yang diambilnya karena langkah depopulasi massal tidak mungkin dilakukan karena membutuhkan biaya besar.
Kini meskipun program vaksinasi telah menjadi rekomendasi badan dunia urusan penyakit hewan atau lebih dikenal Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), kita semua tahu bahwa upaya vaksinasi tak kan berhasil menghilangkan virus AI dari negara kepulauan Indonesia ini bila tidak didukung dengan tindakan yang lain, seperti penerapan biosekuriti, surveilans dan penataan pemasaran unggas.
Lebih parahnya, bila tindakan vaksinasi ini gagal akan menimbulkan infeksi ulangan yang menjadikan AI menjadi endemis.
Sesuai rekomendasi Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan OIE, Indonesia menggunakan bibit vaksin yang berasal dari low pathogenic avian influenza virus. Pemerintah Indonesia terus memantau dan mengevaluasi penggunaan vaksin itu.
Untuk mencegah terjadi wabah kembali, upaya harus difokuskan pada peningkatan dan penerapan pengetahuan dasar tentang prosedur biosekuriti yang ketat. Pengetatan biosekuriti berguna untuk menunjang program vaksinasi yang telah dilakukan, untuk mendeteksi kasus lebih awal dan mendepopulasi unggas yang terinfeksi dan berisiko tinggi agar kerugian lebih besar dapat diminimalisir.
Program pengendalian AI harus dikoordinasikan dengan Campaign Management Unit (CMU) atau Unit Pengendalian dan Penanggulangan Avian Influenza (UPPAI-Deptan) untuk menentukan wilayah, tata laksana, monitoring, program restocking, dan tindakan sanitasi untuk flok yang terinfeksi.
Program ini harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan informasi serta didukung oleh sistem laboratorium yang terakreditasi.
Seminar Internasional Vaksinasi AI terselenggara berkat kerjasama Departemen Pertanian dengan Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI dan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA).
Tujuan seminar ini untuk menyamakan pengetahuan dasar tentang pelaksanaan program vaksinasi dan mengevaluasi program yang telah dijalankan sebelumnya. Seminar ini juga menjadi sarana diskusi untuk menemukan strategi pelaksanaan vaksinasi yang terbaik.”

Dr Drh Sofjan Sudardjat MS
Direktur Jenderal Peternakan
Periode 1999-2005
“Satu-satunya jalan untuk menanggulangi penyakit AI adalah dengan vaksinasi dan biosecurity. Pembunuhan atau pemberantasan ayam bukanlah tindakan yang utama, namun merupakan tindakan pelengkap.
Sebagai dokter hewan yang merupakan intelek veteriner, mesti sanggup menggunakan ilmu epidemiologi yang secara intelek menggunakan intelegensi mengaitkan analisa-analisa sebelum mengambil keputusan.
Menurut OIE dan FAO pun, hewan harus dilindungi, musuh utamanya berupa penyakit penyebab kesusahan-lah yang harus diberantas, bukan hewannya. Buat apa ada vaksin dan obat bila sedikit-sedikit ternak dibunuh, diberantas.
Cari dasar epidemiologinya, cari vaksinasi yang paling sesuai dan harus bagus. Antigen virusnya harus lokal, virus lokal, yang sekarang virus lokal adalah H5N1. Apa alasannya kok menggunakan virus lain seperti H5N2?
Ada yang bilang H5N1 kalau mutasi bisa ganas, bukankah bukan hanya H5N1 saja, H5N2 pun kalau mutasi juga bisa ganas. Jadi yang paling tepat untuk vaksinasi, tetap virus lokal yaitu H5N1.
Jangan samakan kondisi Indonesia dengan kondisi luar negeri untuk dengan mudah mengikuti cara mereka dengan penerapan virus strain lain untuk vaksinasi. Di Amerika dan Jepang saja kekebalan silang yang timbul dengan menggunakan virus strain lain cuma rendah (60-70 persen), yang berhasil dengan kekebalan silang pun tidak semua (hanya 80-90 persen).
Ada yang bilang dasar kebijakan antigen heterolog supaya prinsip DIVA bisa dipakai. Namun harus diingat itu kalau kondisi Indonesia ada seperti di luar negeri. Peternakan di luar negeri terisolir, tidak ada ayam buras yang berkeliaran, sedangkan di Indonesia campur baur.
Bagaimana bisa menilai hasil vaksinasi dan kekebalan secara alami? Dibedakannya hasil vaksinasi ini hanya dapat dengan test. Tapi buat apa test dilakukan di peternakan-peternakan Indonesia itu?
Test harganya sangat mahal, yang penting vaksinasi. Untuk itulah gunakan sistem informasi geografis, suatu tindakan penanggulangan penyakit harus disesuaikan dengan kondisi wilayah geografis dan alamnya, serta kondisi manusia dengan lingkungan sosialnya.”

Drh Musny Suatmodjo
Direktur Kesehatan Hewan Ditjennak
“Kematian unggas yang disebabkan oleh AI H5N1 sejak awal terjadi wabah pada tahun 2003 hingga sekarang dilaporkan cenderung menurun setelah upaya vaksinasi dilakukan.
Yang patut menjadi catatan disini adalah perubahan keganasan virus AI yang ada di lapangan. Sebagai contoh kini ditemukan infeksi virus AI pada unggas di peternakan sektor 4 namun tidak ditemukan kematian.
Untuk pengadaan vaksin dalam rangka vaksinasi massal tahun 2006, baru terealisasi bulan November dan Desember tahun lalu dengan jumlah lebih kurang 50 juta dosis. Itu pun baru pertengahan tahun 2007 ini terdisribusi semua.
Sedangkan untuk tahun anggaran tahun 2007 ini baru dimulai pengadaan vaksin sejumlah 60 juta dosis yang kemungkinan realisasinya juga akan mundur dari jadwal yang ditentukan semula.
Jumlah vaksin tersebut memang tidak sebanding dengan kebutuhan populasi unggas yang ada di Pulau Jawa atau untuk 11 propinsi yang dikategorikan high risk. Sehingga strategi vaksinasi yang dilakukan difokuskan untuk daerah yang tertular dan sekitarnya (targeted vaccination) dengan metode ring vaksinasi.
Perlu diketahui bahwa populasi ayam kampung di sektor 4 saja mencapai 285 juta ekor di seluruh Indonesia itu belum termasuk populasi itik/entog yang jumlahnya mencapai 34 juta ekor.
Sedangkan populasi ayam di sektor 1 hingga 4 untuk ayam ras petelur/layer adalah 98 juta ekor dan broiler mencapai 864,2 juta ekor menurut Statistik Peternakan tahun 2005.
Pemerintah saat ini tengah mengalokasikan dana Rp 300 per dosis yang ditanggung oleh pemerintah Propinsi dan Kabupaten/kota. Sementara pemerintah hanya menyediakan bantuan dalam bentuk vaksin.
Total vaksin yang tersedia untuk tahun 2007 sebanyak 60 juta dosis persediaan Deptan ditambah bantuan dari Cina sebanyak 33 juta dosis dan Bank Dunia sebanyak 5 juta dosis vaksin, sehingga total tersedia 98 juta dosis vaksin AI.
Target dari seminar internasional vaksinasi AI ini, menentukan vaksin jenis apa yang akan digunakan untuk upaya eradikasi AI ke depan. Apakah nanti akan menggunakan strain vaksin LPAI atau HPAI. Apakah homolog atau heterolog. Atau apakah dari HPAI yang dilemahkan atau direkayasa dengan teknologi reverse genetik.
Semua tergantung hasil keputusan para pakar dari OIE, FAO, WHO dan dari Indonesia nantinya.
Kita tahu bahwa saat ini Indonesia menggunakan 3 jenis strain vaksin yaitu H5N1, H5N9, dan H5N2. Latar belakang dipilih ketiga jenis vaksin itu karena vaksin H5N9 dan H5N2 telah digunakan untuk sektor 1 hingga 3 untuk mengendalikan AI sejak tahun 2004, sementara sektor 4 menggunakan vaksin H5N1 karena harganya murah, cepat dan mudah didapat.
Penggunaan vaksin H5N1 sendiri akan mulai dihentikan sejak Oktober 2007 nanti sesuai dengan rekomendasi OIE, namun terlepas itu semua kita masih menunggu rekomendasi dari hasil seminar ini nanti.”

Bayu Krishnamurti
Komnas FBPI
“Di Indonesia vaksinasi adalah kebijakan paling realistis untuk menangani AI H5N1 Indonesia. Kebijakan vaksinasi ini dahulu sempat ditentang oleh hampir seluruh negara di dunia, namun keadaannya kini terbalik justru dunia mendukung upaya vaksinasi yang dipilih Indonesia.
Meskipun hasilnya belum optimal namun bila dibandingkan dengan negara yang memilih stamping out menyeluruh sebagai solusi atas wabah AI kini mereka malah terus mengalami wabah kembali seperti yang terjadi di Thailand, Vietnam dan Jepang. Artinya virus AI H5N1 tetap bercokol di negara mereka dan tak mau hilang.
Pada seminar ini berkumpul ahli-ahli terbaik dari seluruh dunia. Dari pertemuan diharapkan dibahas secara objektif apakah masih relevan menjadikan seed virus dari strain LPAI sebagai rekomendasi pelaksanaan vaksinasi.
Sementara di Indonesia hingga saat belum ditemukan virus AI H5N1 yang berpatogenisitas rendah (LPAI). Akibatnya dari rekomendasi itu kita ‘dipaksa’ untuk menggunakan vaksin dari subtipe virus lain (heterolog) seperti H5N9 dan H5N2 yang juga bermanfaat untuk prinsip DIVA (differentiating from vaccinated animals) yaitu membedakan unggas yang terinfeksi virus lapang atau virus vaksin dari titer antibodinya.
Semua ahli pun menyadari bahwa vaksin yang paling optimal adalah vaksin yang berasal dari virus itu sendiri. Namun alasan kuat dipilihnya vaksin dari virus LPAI adalah karena faktor keamanan bagi manusianya itu sendiri, yaitu mulai dari proses produksi vaksin hingga aplikasinya ke ternak unggas.
Dengan digunakannnya vaksin dari strain LPAI terbukti mampu mengurangi risiko manusia maupun unggas untuk tertular virus AI yang berasal dari vaksin karena patogenisitasnya yang rendah. Meskipun kekebalan protektif yang dihasilkan tidak sampai seratus persen bila dibandingkan dengan vaksin yang memiliki homologi sama dengan virus lapang yang ada.
Telah mejadi kenyataan bahwa kesulitan paling besar adalah aplikasi vaksinasi di sektor 4. Petugas harus bersusah payah untuk menangkap unggas sebelum divaksinasi karena tidak dikandangkan.
Sementara untuk kondisi di manusianya diketahui bahwa jumlah kasus baru penularan flu burung ke manusia dilaporkan menurun namun case fatality rate-nya meningkat.
Dua hal ini harus dicermati betul, karena menunjukkan bahwa manusia semakin tahan terhadap virus flu burung, tetapi sekali tertular maka peluang hidupnya semakin kecil.
Hingga saat ini tidak ada bukti lain terserangnya manusia selain akibat infeksi flu burung dari unggas. Memang ada dugaan penularan dari anjing dan kucing namun hal ini tidak pernah terbukti.”
Dr John Weaver
FAO
“Telah terjadi kegagalan vaksinasi yang penyebabnya harus diselidiki lebih lanjut. Kegagalan tersebut kemungkinan bisa disebabkan strain vaksin yang tidak sama dengan strain virus yang ada di lapangan.
Bisa juga terjadi karena kualitas vaksin yang jelek, atau sarana penyimpanan dan cara vaksinasi yang salah. Rendahnya jangkauan vaksinasi (coverage) yang dilakukan juga bisa menjadi pemicu kerap munculnya kembali letupan di beberapa daerah di Indonesia.”

Dr Christianne JM Bruschke
OIE (Office Internationale de Epizootica)
“Sebagai satu-satunya badan dunia yang berwenang mengurusi kesehatan hewan, OIE menerima banyak permintaan dari negara-negara anggotanya untuk memberi masukan dalam menentukan kebijakan penanggulangan AI.
Apakah mereka akan menggunakan metode vaksinasi atau tidak, kalau ya bagaimana program vaksinasinya.
Untuk alasan ini OIE telah bekerjasama dengan FAO, membuat panduan dalam vaksinasi AI. Dalam panduan itu dijelaskan sebelum memilih vaksinasi sebagai upaya eradikasi sebaiknya mempertimbangkan situasi epidemiologis negara tersebut, faktor sosio-ekonomi, dan struktur industri perunggasan yang telah terbentuk.
Latar belakang inilah yang dijadikan dasar pertimbangan program vaksinasi yang akan dipilih, meliputi penentuan strain vaskin, kebutuhan sarana pendukung dan implementasinya di lapangan. Lebih jauh, latar belakang ini menyediakan informasi monitoring untuk memantau sirkulasi virus.
OIE juga telah membuat panduan umum prinsip dalam produksi vaksin dan panduan spesifik untuk produksi vaksin AI yang tercantum dalam OIE Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals.
Hambatan dalam pengendalian AI di beberapa negara di dunia dan mungkin terjadi di Indonesia adalah lemahnya pelayanan kesehatan hewan nasional, lemahnya kapasitas dokter hewan dan paramedis di lapangan, terbatasnya kemampuan mengontrol lalulintas ternak.
Kesulitan dalam menerapkan biosekuriti, stamping out dan vaksinasi juga menjadi penghambat, serta rendahnya kemampuan kapasitas dan kapabilitas laboratorium diagnostik juga kesenjangan pemahaman terhadap masalah AI.
Dilaporkan pula dari akhir 2006 hingga Juni 2007 telah terjadi kasus baru dan kasus ulangan. Negara yang dilaporkan kembali terjadi wabah AI adalah Korea, Vietnam, Thailand, Jepang, Hongaria, Turki, Pakistan, Laos, Rusia, Kuwait dan Malaysia. Sementara kasus baru muncul di beberapa negara diantaranya adalah UK, Bangladesh, Ghana, dan Saudi Arabia.”

Dr David E Swayne
Laboratorium Riset AI USDA
“Virus flu burung atau H5N1 bukan virus tunggal, melainkan keluarga yang terdiri atas tiga keturunan dan sejumlah subketurunan. Virus AI beranak pinak dengan jenis berbeda karena mengalami mutasi akibat kekebalan alami unggas serta tekanan vaksin.
Vaksinasi sendiri dipilih karena terbukti mampu menurunkan gejala klinis dan mengurangi kerugian ekonomis yang lebih besar.
Rendahnya titer antibodi vaksinasi dilapangan dibanding dengan titer di laboratoeium disebabkan karena jeleknya kualitas vaksin, tidak baiknya kondisi penyimpanan dan penanganan vaksin, dosis vaksin yang dikurangi, tehnik vaksinasi yang salah, infeksi penyakit imunosupresif yang lain, coverage vaksinasi tidak mencapai 100% dari seluruh populasi, dan tingginya tantangan dari virus lapang.
Infeksi sub klinis (silent infection) bisa terjadi akibat salahnya pelaksanaan vaksinasi yang dilakukan.
Untuk terus menyesuaikan strain genetik vaksin yang digunakan dengan virus AI lapangan, bisa dilakukan dengan penerapan bioteknologi.”

Prof Charles Rangga Tabbu
Dekan FKH UGM
“Dalam pelaksanaan vaksinasi untuk mengatasi AI, vaksinasi terkadang tidak melindungi sepenuhnya dari infeksi. Terlebih virus shedding dari hasil vaksinasi bisa menimbulkan wabah kedua yang tidak terlihat berupa penurunan produktivitas bila tingkat biosekuriti yang diterapkan lemah.
Oleh karena itu, vaksin yang digunakan sebaiknya yang berkualitas tinggi, memiliki homologi antigen yang baik dan diberikan secara benar.
Untuk jenis vaksin yang digunakan bisa bermacam tipe. Ada yang menggunakan vaksin killed/inaktif dengan pengemulsi minyak. Ada pula yang menggunakan vaksin rekombinan seperti di beberapa negara.
Bisa juga menggunakan vaksin reverse genetic yang disebut sebagai “vaksin masa depan untuk AI”. Yang umum menggunakan vaksin yang homolog (sama subtipe HA dan NA-nya) atau heterolog (berbeda subtipe NA-nya) dengan virus lapang.
Dari hasil penelitian FKH UGM pada 560 ekor puyuh menggunakan 4 jenis vaksin yaitu H5N1, H5N9 dan 2 vaksin H5N2 dengan merk yang berbeda. Didapat kesimpulan jenis vaksin yang digunakan menimbulkan respon yang bervariasi seperti tingkat kematian dan produksi telur. Namun vaksinasi diakui mampu mengurangi shedding virus dilapangan.
Namun entah bagaimana, dari hasil penelitian terlihat bahwa vaksin H5N9 memberikan respon yang paling baik dan signifikan. Berupa rendahnya tingkat kematian dan tetap tingginya produksi telur bila dibanding vaksin jenis lainnya.
Hal inilah yang menjadi perdebatan sengit para pakar yang hadir saat itu, karena mereka juga mengaku melakukan studi yang sama namun hasil yang ditunjukan jauh berbeda. Apakah ini karena spesiesnya atau memang karena vaksinnya, semua masih abu-abu.
Terlepas dari itu semua saya merekomendasikan dari hasil penelitian yang didanai Deptan itu vaksinasi AI terhadap puyuh tetap harus dilakukan setidaknya 3 kali. Dimulai saar umur 3 minggu, dan dilanjutkan dengan booster pada umur 6-7 minggu dan 10-12 minggu.”

Dr Drh Wayan Teguh Wibawan
Wakil Dekan FKH IPB
“Sebagian pakar dari Indonesia tak sependapat dengan Dr Swayne yang menyatakan dari penelitiannya bahwa 11 vaksin yang digunakan di Indonesia tidak ada yang memberikan kekebalan cukup baik terhadap virus AI asal Jawa Barat.
Sementara penelitian itu hanya menggunakan satu virus untuk menantangnya dan kita tahu di Indonesia terdapat lebih satu famili virus AI H5N1, sehingga hasilnya dirasa kurang representatif disamping berarti upaya vaksinasi yang dilakukan pemerintah selama dinilai gagal dan percuma.”

Gani Haryanto
Ketua Umum ASOHI
“Kami menyambut baik dengan diadakannya seminar ini. Dalam seminar ini menjadi wadah para ahli flu burung menungkan hasil riset dan perkembangan teknologi yang hasilnya nanti bisa menjadi masukan kepada Pemerintah Indonesia dalam menentukan kebijakan vaksinasi AI selanjutnya.
Bagi pelaku bisnis obat hewan, berubahnya kebijakan vaksinasi yang mungkin nanti terjadi tidak ada masalah. Kami tinggal mengikuti apa yang menjadi ketentuan pemerintah. Bahkan kami sangat mendukung seminar ini dengan menghadirkan perwakilan 14 orang anggota ASOHI untuk berpartisipasi.
Harapan kami sebagai Ketua ASOHI, hasil seminar dari pendapat expert bidang teknis AI ini diharapkan dapat menjadi pegangan dalam menyelesaikan masalah AI di Indonesia. Diperoleh kejelasan vaksin jenis apa yang cocok, metode apa yang digunakan.”

Don P Utoyo
Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI)
“Hampir seluruh ayam petelur yang populasinya kini mencapai 80-90 juta ekor telah divaksinasi. Terutama untuk peternakan di sektor 1 hingga 3.
Ada beberapa peternak yang menerapkan vaksinasi pada ayam broiler. Ada yang dengan setengah dosis atau seperempat dosis sekadar untuk booster. Pertanyaannya perlukah broiler divaksinasi?
Hal ini terus menjadi polemik karena umur broiler yang relatif pendek vaksinasi dimungkinkan menjadi hal yang mubazir terkait dengan lamanya waktu untuk titer antibodi untuk naik.
Setidaknya dibutuhkan waktu 40 hari untuk antibodi bisa menimbulkan kekebalan optimal terhadap AI, sementara broiler dipotong rata-rata umur 35 hari.”

Yance
Sido Agung Farm
Krian Sidoarjo
“Peternakan ayam petelur saya tidak pernah terserang penyakit AI. Kuncinya pada kepadatan kandang, jarak peternakan saya sangat jauh dari peternakan lain. Bahkan di wilayah ini, satu-satunya yang beternak ayam ras adalah saya sendiri.
Mungkin virusnya sudah mati dalam perjalanan karena jarak tempuh yang sangat jauh. Sehingga begitu ada pengunjung masuk peternakan tidak berpengaruh apa-apa.
Namun begitu saya tetap melakukan vajksinasi AI, pertama pada saat ayam berumur 8 minggu (2 bulan) dan kedua saat ayam berumur 13-14 minggu. Vaksinasi AI itu masih menggunakan vaksin H5N1, di mana virusnya umum dan merupakan strain lapangan.
Tentang pelaksanaan vaksinasi pada ayam-ayam kampung di sekitar peternakan saya, pernah ada bantuan dari pemerintah pada saat kasus AI mewabah pada tahun 2003.
Namun setelah itu terhenti dan baru pada tahun 2006 dinas peternakan memberi gratis lagi. Selanjutnya pada 2007 awal hingga pertengahan tidak ada lagi.
Tampaknya pemerintah dalam tindakan vaksinasi tergantung dana, proyek dan kebutuhan. Sehingga, soal jenis vaksin pun terkesan simpang siur, bahkan ada yang dengan jenis virus H5N9 meski jarang saya jumpai.”

Dharmawan
Bambu Kuning Farm
“Peternakan kami sangat cocok menggunakan vaksin homolog lokal H5N1 dan tidak setuju dihentikan produksinya oleh pemerintah. Ia mengakui mulai dari akhir tahun 2003 saat wabah pertama muncul, setelah divaksin AI H5N1 tak pernah sekalipun wabah itu muncul di farmnya.
Namun sayang hingga berita ini diturunkan (2 minggu setelah seminar) keputusan berupa rekomendasi kepada pemerintah Indonesia masih belum juga diberikan oleh pihak penyelenggara dengan alasan masih dibutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak.
Sehingga tak hanya kami yang kecewa namun pelaku bisnis peternakan dan obat hewan terpaksa harus menahan napas menunggu keputusan dari pemerintah.”

Askam Sudin
Charoen Pokphand Indonesia
“Bila hasil penelitian Dr Swayne bahwa 11 vaksin yang digunakan di Indonesia tidak ada yang memberikan kekebalan cukup baik terhadap virus AI asal Jawa Barat digunakan, digunakan berarti dari 11 vaksin yang ada di Indonesia tidak ada satupun yang mampu memberikan kekebalan optimal terhadap AI artinya vaksinasi yang dilakukan sia-sia.
Dan lagi apakah hasil penelitian ini telah disesuaikan dengan kondisi di lapangan, karena dari hasil penelitiannya sendiri berkata lain. Hal serupa juga disampaikan.”

Dr Teguh Prayitno
Vice President PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk
“Upaya mengendalikan HPAI sejak Februari 2004 dengan culling dan depopulasi selektif dinilai gagal. Hal ini lebih disebabkan karena lemahnya infrastruktur pelayanan kesehatan hewan, lambatnya pelaporan dan cepatnya mobilitas unggas komersial, eggtray, limbah perunggasan.
Pemerintah melaporkan bahwa legalisasi dan penggunaan vaksin H5 inaktif mampu menurunkan kasus AI tahun 2004. Namun, wabah HPAI musiman di peternakan ayam sektor 1 hingga 4 di musim hujan 2005 dan 2006 masih terus terjadi. Ini menunjukkan bahwa karakter virus AI telah menjadi endemis di lapangan, masih lemahnya penerapan biosekuriti, dan rendahnya kontrol lalulintas unggas.
Selain itu munculnya kembali wabah AI tak lepas dari dugaan rendahnya kekebalan protektif dari vaksin yang digunakan serta kualitas vaksin dan jangkauan luasan vaksinasi.
Klasifikasi sistem produksi yang diberikan oleh FAO yaitu peternakan sektor 1 - 4 tidak bisa digunakan karena beragamnya sistem produksi dan beragamnya tingkat penerapan biosekuriti.
Upaya vaksinasi AI yang baik diperkirakan hanya 80-100% dilakukan peternakan breeding dan layer komersial. Dari pengalaman breeding dan layer komersial, vaksin H5N1 yang memberikan perlindungan suboptimal sejauh masih rendah, namun unggas tetap mengeluarkan shedding virus. Akibatnya infeksi kembali akibat HPAI mungkin sekali terjadi karena virus tetap ada di lingkungan.
Untuk broiler komersial yang mewakili populasi paling besar dan paling “mobile” dari semua unggas di Indonesia, tidak bisa diterapkan upaya vaksinasi karena efektifnya vaksin AI H5 pada tipe ayam berumur pendek. Vaksinasi dadakan yang dilakukan setelah wabah terjadi juga terbukti tidak efektif, karena replikasi dan shedding virus AI tak bisa dihentikan.
Lebih jauh, ada ketidaksesuaian sistem produksi industri perunggasan dengan rantai pasar tradisional unggas hidup yang menyebabkan risiko tetap bertahannya virus AI di lingkungan. Poin kritis itu adalah adanya pengepul ayam dan usaha pemotongan tradisional.
Belajar hidup bersama H5N1 di Indonesia berarti menjaga H5N1 jauh dari rantai makanan. Caranya adalah dengan memusnahkan H5N1 dari unggas yang rentan tertular dengan vaksinasi yang efektif, penguatan biosekurit, depopulasi selektif untuk unggas yang terinfeksi, pengendalian lalulintas unggas, dan merestrukturisasi sistem pemasarannya.”

Dr Dedi Rifuliadi
PT Vaksindo Satwa Nusantara
“Bila hasil penelitian Dr Swayne bahwa 11 vaksin yang digunakan di Indonesia tidak ada yang memberikan kekebalan cukup baik terhadap virus AI asal Jawa Barat digunakan, berarti dari 11 vaksin yang ada di Indonesia tidak ada satupun yang mampu memberikan kekebalan optimal terhadap AI artinya vaksinasi yang dilakukan sia-sia.
Dan lagi apakah hasil penelitian ini telah disesuaikan dengan kondisi di lapangan, karena dari hasil penelitiannya sendiri berkata lain.
Vaksin yang terbaik sekalipun yang ada di dunia digunakan di Indonesia, kalau coverage-nya hanya 20-30% tetap tidak akan bisa menyelesaikan masalah AI di Indonesia.
Jadi intinya lebih ditekankan pada kondisi riil di lapangan dan berdasarkan pengakuan user dalam hal ini peternak dan pembibit.”

H Nur Asikin SH MH
PT Paeco Agung Surabaya
“Meski tidak menjumpai kasus AI yang terang-terangan kelihatan saat ini, di Blitar, Tulungagung dan Sekitarnya di Jawa Timur, bukan berarti AI tidak ada. Kasus bisa muncul berawal dari penyakit-penyakit lain, lalu AI pun menyerang. Jalan terbaik adalah program vaksinasi yang teratur dan biosecurity.
Waktu pemberian vaksin AI pada masing-masing peternak berbeda-beda. Kalau beberapa peternakan pada ayam umur 36 hari untuk vaksinasi pertama, vaksinasi kedua pada saat ayam umur 112 hari. Biasanya digabung vaksin killed yang lain seperti ND, IB dan EDS, sebab peternak selalu cari vaksinasi killed yang praktis bisa sekali digunakan.” (Wawan Kurniawan, Yonathan Rahardjo)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls