Majalah Infovet Mei 2005
AI, SIAPA TAKUT?
((Yang harus dilakukan adalah jelas, tempatkan semua pada porsinya masing-masing. Biosecurity harus tetap jalan terus, maka dalam Fokus kali ini dibahas masalah penanganan peternakan yang bisa dijadikan teladan. Vaksinasi harus tetap jalan. Pemusnahan secara terbatas juga harus tetap jalan. Penelitian terhadap virus dan karaker virus AI harus tetap dilakoni. Pemerintah, swasta, pengusaha, peneliti, peternak, media massa dan masyarakat tidak bisa tidak haruslah mengembalikan posisi dan perannya pada porsinya masing-masing. Saling mengoreksi adalah keharusan, namun masing-masing tetap pada jalurnya masing-masing, menjaga independensi setiap kerja dan kebijakannya. ))
Dalam waktu-waktu genting, seperti jarum-jarum jam yang tak henti berdetak dan memutar secara pasti, terjadi peristiwa-peristiwa yang sebetulnya bisa dibilang biasa saja kalau menyikapinya secara arif. Tapi menjadi begitu menggelisahkan bila kita kurang berpikir dingin dan tidak mempunyai pandangan bahwa sebetulnya kasus Avian Influenza gelombang ke dua adalah suatu hal yang pasti akan terjadi. Sehingga selayaknya bangsa Indonesia tidak akan kebakaran jenggot menghadapinya, belajar dari pengalaman wabah Avian Influenza gelombang satu yang seolah meruntuhkan langit peternakan bumi tercinta, namun kita berhasil mengatasinya juga.
Belum lama ini Menteri Pertanian mengumumkan bahwa daerah jawa barat dan sulawesi selatan tertutup pintu keluar untuk transportasi ternak ayam dan produknya, lantaran di daerah itu dianggap merebak wabah Flu Burung yang membahayakan ternak dan manusia. Kontan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan menghadapi dilema, satu sisi atasannya langsung yang menyatakan, sementara sebetulnya bidang itu kewenangannya untuk membuat kebijakan sebelum dinyatakan ke publik setelah koordinasi dengan Mentan. Sedang Dirjennak sendiri, terhadap kasus Flu Burung gelombang ke dua ini pada dasarnya sikapnya berbeda dengan kebijakan Mentan.
Masyarakat peternakan umumnya juga menyesalkan pengumuman Mentan itu, Dirjen sesuai dengan otoritas dan tanggungjawabnya untuk membangun peternakan Indonesia tampak dari kebijakan-kebijakannya upayanya agar kepentingan peternakan haruslah diselamatkan. Hal yang sangat bisa dimengerti lantaran putaran uang yang begitu besar di bidang peternakan dalam pembangunan peernakan ini, menyangkut hajat hidup banyak sekali masyarakat peternakan dari hulu ke hilir bahkan sampai pada masa-masa pasca produksi setelah produk-produk itu siap saji dan disantap masayarakat untuk kehidupan dan kesehatan.
Berkembang berbagai komentar dan sikap bahwa sebetulnya menutup pintu keluar masuk transportasi antar wilayah bukanlah tindakan yang tepat, karena belum tentu kasus Avian Influenza itu serjadi secara serempak, disinyalir kasus tahun ini berbeda dengan tahun 2003-2004 yang sudah menjadi wabah yang menakutkan. Kasus AI sekarang lebih terkendali, petanya tampak lebih tenang, karena tindakan-tindakan peternak, praktisi kesehatan hewan, pemerintah, dalam mengatasi kasus dengan biosecurity, vaksinasi dan pemusnahan secara terbatas dengan segala kekurangannya cukup memberikan pengaruh positif.
Yang menjadi permasalahan dan dipermasalahkan pada dasarnya adalah tindakan-tindakan penanggulangan yang praktis masih bolong sana-sini, dan dipertanyakan efektivitasnya. Soal kompensasi dana pemusnahan wabah tahun lalu yang masih dipenuhi tanda tanya. Soal tipikal pemusnahan ayam yang terserang yang paling cocok bagi kondisi peternakan Indonesia, pemusnahan total ataukah pemusnahan terbatas sesuai kebijakan pemerintah dalam tahap-tahap penanggulangan yang digariskan tahun lalu. Soal vaksinasi yang tampaknya saat ini sudah kelihatan manfaatnya, tapi peternak masih saja dihantui kenyataan pada peternakan-peternakan tertentu wabah Avian Influnza masih juga merampas ayam-ayamnya. Ditambah soal eforia kebebasan dan kekuasaan daerah-daerah yang merayakan tendesi sifat raja kecil di daerah masing-masing yang mencetak kebijakan-kebijakan penanganan kasus Avia Influenza teritorial yang saling bertabrakan dengan kebijakan teritori lain bahkan kebijakan pemerintah pusat.
Disusul bola panas lagi ketika penyakit Flu Burung memasuki ranah kehidupan manusia, yang justru hal inilah yang membuat penyakit ini menjadi begitu mengkhawatirkan keberadaannya. Karakterisasi virus menurut beberapa praktisi belum dilakukan secara sempurna, bahkan uji karakterisasi yang sesungguhnya pun belum berhasil dilakukan oleh lembaga yang punya otoritas di bidang penelitian veteriner. Pengujian untuk menentukan jenis virus baru pada tahap terbatas. Sementara kegelisahan berubahnya virus atau munculnya virus dari subtipe baru selalu dikhawatirkan menjadi lebih ganas.
Penularan virus ke manusia senantiasa menjadi hantu kematian. Hiburan paling segar adalah sejauh ini dinyatakan pemerintah tidak ada seorang pun manusia Indonesia yang terserang penyakit virus ganas ini. Hiburan kedua adalah tindakan-tindakan penanggulangan seperti yang diurai terdahulu. Hiburan ketiga adalah setiap daging ayam yang dikonsumsi dengan pengolahan yang benar terlebih dulu, dijamin seratus persen aman! Penularan memang lebih memlalui sekret pernapasan dan pencernaan burung/ayam yang terserang, bukan melalui cara konsumsi dengan pengolahan sehat seperti itu.
Semenjak diketahui bahwa penularan ke manusia hanyalah bisa melalui ternak lain, babi, yang di dalam perkembangan virus dalam tubuhnya bisa merubah sifat virus yang semula hanya bisa menyerang unggas menjadi bisa menyerang mamalia, terutama manusia, sangat dimaklumi bahwa itulah hiburan paling segar di Indonesia, karena sampai suatu titik masa kabar virus Flu Burung menyerang babi belumlah pernah dijumpai. Sampai hari Jumat tanggal 8 bulan April 2005, seorang proklamator wabah Avian Influenza di Indonesia 2004 kembali memproklamasikan temuannya yang terkini: seratus ekor babi sudah kedapatan di dalam tubuhnya virus Avian Influenza H5N1, virus ganas AI yang dikenal di Indonesia seperti halnya China.
Laksana bom yang meledak lagi. Pemerintah dan sebagian masyarakat peternakan yang mengibarkan bendera kepentingan peternakan adalah nomor satu kembali mengibarkan panji-panji, pernyataan flu burung sudah menyerang babi tidaklah benar, kata lainnya belum ada babi yang terserang kasus Avian Influenza. Dengan sendirinya terjadilah pertentangan pendapat yang begitu keras terhadap pernyataan yang dimuat di surat kabar nasional yang juga pertama kali membongkar gundukan misteri Flu Burung gelombang satu pada 25 Januari 2004.
Berbagai pertanyaan yang menyangsikan kesahihan pernyataan AI pada babi bermunculan di sana-sini. Antara muatan kajian ilmiah, kepentingan ekonomi, bisnis, dan kekuasaan saling bertabrakan, saling tawur. Bahkan antar pejabat pemerintah yang secara jenjang kebijaksanaan sama-sama punya otoritas di bidang kesehatan hewan dan peternakan pun terjadi perpecahan pendapat, yang mengarah kepada perseteruan idealisme peternakan.
Padahal secara nalar semua sudah jelas, terdapatnya virus Avian Influenza pada tubuh babi sangatlah mungkin, tapi perlu diingat derajad kasusnya, apakah sudah menyebabkan penyakit atau belum, ataukah hanya sekedar nangkring di tubuh ternak itu. Apapun patut diwaspadai dan tinggal menunggu waktu perkembangannya. Kalaupun pernyataan itu ditolak, harus jelas alasan-alasan ilmiah penolakannya. Kalau tidak ada, maka apa arti penelitian itu. Kalau ya, kembali kepada muara hubungan masyarakat yang secara bijak bisa menjelaskan kepada masyarakat peternakan dan masyarakat umum, tanpa harus menutup-nutupi kenyataan yang ada, karena apapun yang ditutupi pastilah suatu saat tersingkap juga, atau baunya tercium juga, karena kebenaran tidaklah pernah berdusta.
Apakah menghadapi carut-marut ini kita harus bertanya rumput yang bergoyang? Tidak. Yang harus dilakukan adalah jelas, tempatkan semua pada porsinya masing-masing. Biosecurity harus tetap jalan terus, maka dalam Fokus kali ini dibahas masalah penanganan peternakan yang bisa dijadikan teladan. Vaksinasi harus tetap jalan. Pemusnahan secara terbatas juga harus tetap jalan. Penelitian terhadap virus dan karaker virus AI harus tetap dilakoni. Pemerintah, swasta, pengusaha, peneliti, peternak, media massa dan masyarakat tidak bisa tidak haruslah mengembalikan posisi dan perannya pada porsinya masing-masing. Saling mengoreksi adalah keharusan, namun masing-masing tetap pada jalurnya masing-masing, menjaga independensi setiap kerja dan kebijakannya.
Hubungan masyarakat adalah tindakan yang pasti dibutuhkan. Pengumuman adalah bukti kejujuran kepada masyarakat, asal dilambari tindakan-tindakan yang pada tempatnya tidaklah perlu dibesar-besarkan kekhawatiran terhadap nasib peternakan. Peternakan adalah bidang yang besar, menjadi besar pun tidak perlu terlalu menjadikannya lebih besar lebih daripada kewajarannya dan mencipta ketimpangan pada kehidupan yang lebih besar. Menjaga keseimbangan, siapa takut?
Mencegah lebih baik dari mengobati, namun bukankah kita sendiri yang membuat Indonesia yang bebas AI menjadi diakrabi? Kalau ini sudah terjadi, apapun bisa terjadi, haruskah ditutup-tutupi? Bahkan penyakit AIDS pun kini sudah mulai ada perlawanannya, apalagi AI. Dengan segala resiko dan konsekuensinya, mari kita hadapi AI. Namun kita tahu pasti, sekuat hati jangan diulang lagi setiap kebodohan yang sudah terjadi. (Yonathan Rahardjo)
AI, SIAPA TAKUT?
((Yang harus dilakukan adalah jelas, tempatkan semua pada porsinya masing-masing. Biosecurity harus tetap jalan terus, maka dalam Fokus kali ini dibahas masalah penanganan peternakan yang bisa dijadikan teladan. Vaksinasi harus tetap jalan. Pemusnahan secara terbatas juga harus tetap jalan. Penelitian terhadap virus dan karaker virus AI harus tetap dilakoni. Pemerintah, swasta, pengusaha, peneliti, peternak, media massa dan masyarakat tidak bisa tidak haruslah mengembalikan posisi dan perannya pada porsinya masing-masing. Saling mengoreksi adalah keharusan, namun masing-masing tetap pada jalurnya masing-masing, menjaga independensi setiap kerja dan kebijakannya. ))
Dalam waktu-waktu genting, seperti jarum-jarum jam yang tak henti berdetak dan memutar secara pasti, terjadi peristiwa-peristiwa yang sebetulnya bisa dibilang biasa saja kalau menyikapinya secara arif. Tapi menjadi begitu menggelisahkan bila kita kurang berpikir dingin dan tidak mempunyai pandangan bahwa sebetulnya kasus Avian Influenza gelombang ke dua adalah suatu hal yang pasti akan terjadi. Sehingga selayaknya bangsa Indonesia tidak akan kebakaran jenggot menghadapinya, belajar dari pengalaman wabah Avian Influenza gelombang satu yang seolah meruntuhkan langit peternakan bumi tercinta, namun kita berhasil mengatasinya juga.
Belum lama ini Menteri Pertanian mengumumkan bahwa daerah jawa barat dan sulawesi selatan tertutup pintu keluar untuk transportasi ternak ayam dan produknya, lantaran di daerah itu dianggap merebak wabah Flu Burung yang membahayakan ternak dan manusia. Kontan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan menghadapi dilema, satu sisi atasannya langsung yang menyatakan, sementara sebetulnya bidang itu kewenangannya untuk membuat kebijakan sebelum dinyatakan ke publik setelah koordinasi dengan Mentan. Sedang Dirjennak sendiri, terhadap kasus Flu Burung gelombang ke dua ini pada dasarnya sikapnya berbeda dengan kebijakan Mentan.
Masyarakat peternakan umumnya juga menyesalkan pengumuman Mentan itu, Dirjen sesuai dengan otoritas dan tanggungjawabnya untuk membangun peternakan Indonesia tampak dari kebijakan-kebijakannya upayanya agar kepentingan peternakan haruslah diselamatkan. Hal yang sangat bisa dimengerti lantaran putaran uang yang begitu besar di bidang peternakan dalam pembangunan peernakan ini, menyangkut hajat hidup banyak sekali masyarakat peternakan dari hulu ke hilir bahkan sampai pada masa-masa pasca produksi setelah produk-produk itu siap saji dan disantap masayarakat untuk kehidupan dan kesehatan.
Berkembang berbagai komentar dan sikap bahwa sebetulnya menutup pintu keluar masuk transportasi antar wilayah bukanlah tindakan yang tepat, karena belum tentu kasus Avian Influenza itu serjadi secara serempak, disinyalir kasus tahun ini berbeda dengan tahun 2003-2004 yang sudah menjadi wabah yang menakutkan. Kasus AI sekarang lebih terkendali, petanya tampak lebih tenang, karena tindakan-tindakan peternak, praktisi kesehatan hewan, pemerintah, dalam mengatasi kasus dengan biosecurity, vaksinasi dan pemusnahan secara terbatas dengan segala kekurangannya cukup memberikan pengaruh positif.
Yang menjadi permasalahan dan dipermasalahkan pada dasarnya adalah tindakan-tindakan penanggulangan yang praktis masih bolong sana-sini, dan dipertanyakan efektivitasnya. Soal kompensasi dana pemusnahan wabah tahun lalu yang masih dipenuhi tanda tanya. Soal tipikal pemusnahan ayam yang terserang yang paling cocok bagi kondisi peternakan Indonesia, pemusnahan total ataukah pemusnahan terbatas sesuai kebijakan pemerintah dalam tahap-tahap penanggulangan yang digariskan tahun lalu. Soal vaksinasi yang tampaknya saat ini sudah kelihatan manfaatnya, tapi peternak masih saja dihantui kenyataan pada peternakan-peternakan tertentu wabah Avian Influnza masih juga merampas ayam-ayamnya. Ditambah soal eforia kebebasan dan kekuasaan daerah-daerah yang merayakan tendesi sifat raja kecil di daerah masing-masing yang mencetak kebijakan-kebijakan penanganan kasus Avia Influenza teritorial yang saling bertabrakan dengan kebijakan teritori lain bahkan kebijakan pemerintah pusat.
Disusul bola panas lagi ketika penyakit Flu Burung memasuki ranah kehidupan manusia, yang justru hal inilah yang membuat penyakit ini menjadi begitu mengkhawatirkan keberadaannya. Karakterisasi virus menurut beberapa praktisi belum dilakukan secara sempurna, bahkan uji karakterisasi yang sesungguhnya pun belum berhasil dilakukan oleh lembaga yang punya otoritas di bidang penelitian veteriner. Pengujian untuk menentukan jenis virus baru pada tahap terbatas. Sementara kegelisahan berubahnya virus atau munculnya virus dari subtipe baru selalu dikhawatirkan menjadi lebih ganas.
Penularan virus ke manusia senantiasa menjadi hantu kematian. Hiburan paling segar adalah sejauh ini dinyatakan pemerintah tidak ada seorang pun manusia Indonesia yang terserang penyakit virus ganas ini. Hiburan kedua adalah tindakan-tindakan penanggulangan seperti yang diurai terdahulu. Hiburan ketiga adalah setiap daging ayam yang dikonsumsi dengan pengolahan yang benar terlebih dulu, dijamin seratus persen aman! Penularan memang lebih memlalui sekret pernapasan dan pencernaan burung/ayam yang terserang, bukan melalui cara konsumsi dengan pengolahan sehat seperti itu.
Semenjak diketahui bahwa penularan ke manusia hanyalah bisa melalui ternak lain, babi, yang di dalam perkembangan virus dalam tubuhnya bisa merubah sifat virus yang semula hanya bisa menyerang unggas menjadi bisa menyerang mamalia, terutama manusia, sangat dimaklumi bahwa itulah hiburan paling segar di Indonesia, karena sampai suatu titik masa kabar virus Flu Burung menyerang babi belumlah pernah dijumpai. Sampai hari Jumat tanggal 8 bulan April 2005, seorang proklamator wabah Avian Influenza di Indonesia 2004 kembali memproklamasikan temuannya yang terkini: seratus ekor babi sudah kedapatan di dalam tubuhnya virus Avian Influenza H5N1, virus ganas AI yang dikenal di Indonesia seperti halnya China.
Laksana bom yang meledak lagi. Pemerintah dan sebagian masyarakat peternakan yang mengibarkan bendera kepentingan peternakan adalah nomor satu kembali mengibarkan panji-panji, pernyataan flu burung sudah menyerang babi tidaklah benar, kata lainnya belum ada babi yang terserang kasus Avian Influenza. Dengan sendirinya terjadilah pertentangan pendapat yang begitu keras terhadap pernyataan yang dimuat di surat kabar nasional yang juga pertama kali membongkar gundukan misteri Flu Burung gelombang satu pada 25 Januari 2004.
Berbagai pertanyaan yang menyangsikan kesahihan pernyataan AI pada babi bermunculan di sana-sini. Antara muatan kajian ilmiah, kepentingan ekonomi, bisnis, dan kekuasaan saling bertabrakan, saling tawur. Bahkan antar pejabat pemerintah yang secara jenjang kebijaksanaan sama-sama punya otoritas di bidang kesehatan hewan dan peternakan pun terjadi perpecahan pendapat, yang mengarah kepada perseteruan idealisme peternakan.
Padahal secara nalar semua sudah jelas, terdapatnya virus Avian Influenza pada tubuh babi sangatlah mungkin, tapi perlu diingat derajad kasusnya, apakah sudah menyebabkan penyakit atau belum, ataukah hanya sekedar nangkring di tubuh ternak itu. Apapun patut diwaspadai dan tinggal menunggu waktu perkembangannya. Kalaupun pernyataan itu ditolak, harus jelas alasan-alasan ilmiah penolakannya. Kalau tidak ada, maka apa arti penelitian itu. Kalau ya, kembali kepada muara hubungan masyarakat yang secara bijak bisa menjelaskan kepada masyarakat peternakan dan masyarakat umum, tanpa harus menutup-nutupi kenyataan yang ada, karena apapun yang ditutupi pastilah suatu saat tersingkap juga, atau baunya tercium juga, karena kebenaran tidaklah pernah berdusta.
Apakah menghadapi carut-marut ini kita harus bertanya rumput yang bergoyang? Tidak. Yang harus dilakukan adalah jelas, tempatkan semua pada porsinya masing-masing. Biosecurity harus tetap jalan terus, maka dalam Fokus kali ini dibahas masalah penanganan peternakan yang bisa dijadikan teladan. Vaksinasi harus tetap jalan. Pemusnahan secara terbatas juga harus tetap jalan. Penelitian terhadap virus dan karaker virus AI harus tetap dilakoni. Pemerintah, swasta, pengusaha, peneliti, peternak, media massa dan masyarakat tidak bisa tidak haruslah mengembalikan posisi dan perannya pada porsinya masing-masing. Saling mengoreksi adalah keharusan, namun masing-masing tetap pada jalurnya masing-masing, menjaga independensi setiap kerja dan kebijakannya.
Hubungan masyarakat adalah tindakan yang pasti dibutuhkan. Pengumuman adalah bukti kejujuran kepada masyarakat, asal dilambari tindakan-tindakan yang pada tempatnya tidaklah perlu dibesar-besarkan kekhawatiran terhadap nasib peternakan. Peternakan adalah bidang yang besar, menjadi besar pun tidak perlu terlalu menjadikannya lebih besar lebih daripada kewajarannya dan mencipta ketimpangan pada kehidupan yang lebih besar. Menjaga keseimbangan, siapa takut?
Mencegah lebih baik dari mengobati, namun bukankah kita sendiri yang membuat Indonesia yang bebas AI menjadi diakrabi? Kalau ini sudah terjadi, apapun bisa terjadi, haruskah ditutup-tutupi? Bahkan penyakit AIDS pun kini sudah mulai ada perlawanannya, apalagi AI. Dengan segala resiko dan konsekuensinya, mari kita hadapi AI. Namun kita tahu pasti, sekuat hati jangan diulang lagi setiap kebodohan yang sudah terjadi. (Yonathan Rahardjo)