SECUIL IHWAL GEN UNTUK KETAHANAN TERNAK BEBAS AI

Infovet

SECUIL IHWAL GEN UNTUK KETAHANAN TERNAK BEBAS AI


Asal mula ayam unggas adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak, karena ayam hutan tadi dapat diambil telur dan dagingnya maka arah dari produksi yang banyak dalam seleksi tadi mulai spesifik.

Demikian sumber di Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tentang budidaya peternakan.

Dituturkan, ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur.

Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat.

Menurut sumber di Menegristek itu, persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (“terus dimurnikan”). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul. Menginjak awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya akrab dengan pola kehidupan masyarakat dipedesaan.

Memasuki periode 1940-an, orang mulai mengenal ayam lain selain ayam liar itu. Dari sini, orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa Belanda saat itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia.

Ayam liar ini kemudian dinamakan ayam lokal yang kemudian disebut ayam kampung karena keberadaan ayam itu memang di pedesaan. Sementara ayam orang Belanda disebut dengan ayam luar negeri yang kemudian lebih akrab dengan sebutan ayam negeri (kala itu masih merupakan ayam negeri galur murni).

Ayam semacam ini masih bisa dijumpai di tahun 1950-an yang dipelihara oleh beberapa orang penggemar ayam. Hingga akhir periode 1980-an, orang Indonesia tidak banyak mengenal klasifikasi ayam. Ketika itu, sifat ayam dianggap seperti ayam kampung saja, bila telurnya enak dimakan maka dagingnya juga enak dimakan.

Namun, pendapat itu ternyata tidak benar, ayam negeri/ayam ras ini ternyata bertelur banyak tetapi tidak enak dagingnya. Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini adalah ayam ras petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis masa produktifnya.

Antipati orang terhadap daging ayam ras cukup lama hingga menjelang akhir periode 1990-an. Ketika itu mulai merebak peternakan ayam broiler yang memang khusus untuk daging, sementara ayam petelur dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula.

Di sinilah masyarakat mulai sadar bahwa ayam ras mempunyai klasifikasi sebagai petelur handal dan pedaging yang enak. Mulai terjadi pula persaingan tajam antara telur dan daging ayam ras dengan telur dan daging ayam kampung. Sementara itu telur ayam ras cokelat mulai diatas angin, sedangkan telur ayam kampung mulai terpuruk pada penggunaan resep makanan tradisional saja.

Persaingan inilah menandakan maraknya peternakan ayam petelur. Ayam kampung memang bertelur dan dagingnya memang bertelur dan dagingnya dapat dimakan, tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai ayam dwiguna secara komersial-unggul.

Penyebabnya, dasar genetis antara ayam kampung dan ayam ras petelur dwiguna ini memang berbeda jauh. Ayam kampung dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa baiknya. Sehingga ayam kampung dapat mengantisipasi perubahan iklim dengan baik dibandingkan ayam ras.

“Hanya kemampuan genetis (gen)-nya yang membedakan produksi kedua ayam ini. Walaupun ayam ras itu juga berasal dari ayam liar di Asia dan Afrika,“ tegas sumber Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tentang budidaya peternakan itu.


Genetis Tahan AI

Menurut Cahyo Budiman SPt, Peneliti dan Dosen di Fakultas Peternakan IPB Bogor Jawa Barat, sejatinya karakteristik suatu individu tidak lepas dari pengaruh gen, sang pengendali sifat yang selalu diturunkan dari tetua ke anaknya.

”Seperti halnya teori probabilitas dalam statistika, maka sejatinya setiap individu punya dua pilihan untuk memiliki suatu karakteristik tertentu : Ya dan tidak,” katanya.

Dalam konteks kekebalan terhadap penyakit, maka ada dua pilihan bagi sang individu, yaitu: dia kebal terhadap penyakit tersebut (peluang pertama) atau tidak kebal (peluang kedua).

Menurut sumber yang dapat dipercaya, Cahyo Budiman mengatakan, ”Karakteristik ini (sekali lagi) dikendalikan oleh gen dalam tubuh individu tersebut.”

Ia pun menyoroti, dalam kasus penyakit flu, ada fenomena menarik dari serangkaian penelitian terdahulu mengenai karakteristik individu terhadap penyakit ini.

Menurutnya, penelitian menunjukkan bahwa kekebalan terhadap penyakit influenza dikendalikan oleh suatu gen yang disebut dengan gen Mx.

”Pertama kali fenomena ini saya dengar ketika mengikuti seminar Prof. Yoshizae Meada, seorang guru besar dari Kagoshima University, Jepang. Beliau intens meneliti mengenai karakteristik genetik pada berbagai ayam lokal di wilayah Asia,” katanya.

Diuraikan, gen ini akan mengkode dua kemungkinan karakter ayam (kebal dan tidak kebal) melalui dua alelnya, yakni Mx+ dan Mx-.

Keberadaan Mx+ akan menyebabkan sang individu mampu meproduksi protein Mx. Protein ini pada tahap selanjutnya berperan dalam pemblokiran replikasi virus AI dalam nukleus.

Alhasil, katanya, sang virus akan ‘mandul’ alias tidak mampu berkembang biak. Sebaliknya, keberadaan alel Mx- akan tidak akan mampu memproduksi protein Mx, sehingga virus AI dalam sel akan tetap berkembang biak dan melakukan aktivitas yang merusak sistem tubuh sang ayam.

”Inilah yang menjadi penyebab ambruknya ribuan ayam akibat penyakit AI,” kata Cahyo Budiman.

Ia pun menuturkan, meski di awal keberadaan gen Mx ini dideteksi pada mencit, akan tetapi penelitian-penelitian berikutnya menunjukkan bahwa hampir semua organisme memiliki gen tersebut, termasuk yeast. Tentu saja dengan frekuensi gen yang berbeda-beda.

Di kelompok unggas, gen ini pertama kali ditemukan di kelompok itik. Dimungkinkan karena frekuensinya yang tinggi, maka tidak heran banyak sekali itik yang tahan terhadap serangan virus AI ini.

Penelitian selanjutnya, gen ini juga ditemukan pada kelompok ayam. Hasil penelitian Prof. Maeda di berbagai negara Asia menguatkan hal tersebut. Dan ini merupakan titik cerah bagi mimpi kita untuk menciptakan ayam ‘kebal’ tersebut.

Singkatnya, keberadaan gen Mx dalam ayam dimungkinkan dalam dua kondisi, yakni dengan alel Mx+ dan Mx-. Kehadiran Mx- akan menyebabkan ayam rentan terhadap serangan virus AI.

Sebaliknya, Mx+ akan membuat ayam resisten terhadap penyakit tersebut. Dari sini, maka strategi pengembangan ayam yang kebal terhadap flu burung bisa dilakukan dengan menseleksi ayam yang memiliki Mx+.

”Dengan mengembangkan bibit ayam dalam kondisi Mx+ homozigot baik jantan maupun betina, maka dipastikan keturunannya pun akan berada dalam kondisi yang sama. Disinilah generasi ayam kampung kita yang kebal terhadap penyakit flu burung mulai terbentuk,” tutur Cahyo Budiman. (Infovet/ berbagai sumber)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls