Fokus Infovet Juni 2007
PAKAN DAN PENYAKIT PENCERNAAN
Menurut Zaenal Amin PT Cargill Indonesia Area Marketing Kerawang-Cirebon-Brebes, penyakit pencernaan yang terkait dengan pakan dipengaruhi oleh tiga hal:
1. Bahan baku pakan, terkait dengan kualitas bahan baku pakan yang dipergunakan, jika tidak memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan tentunya akan berakibat terganggunya pencernaan. Contoh: Bahan baku jagung, mensyaratkan kadar aflatoxin di bawah 50 ppb, jika di atas batas maksimal maka akan timbul penyakit pencernaan yang disebabkan aflatoxin.
2. Penyimpanan pakan. Jika gudang yang digunakan tidak memenuhi standar, misalnya suhu dan kelembaban tidak standar, atap bocor waktu hujan, maka pakan yang disimpan akan cepat rusak, ditandai dengan kondisi pakan yang menggumpal dan berjamur, dan jika dipaksakan untuk dikonsumsi oleh ternak, maka akan berakibat gangguan pencernaan.
3. Kadaluwarsa. Rata-rata pakan jadi, bisa disimpan dan baik digunakan untuk ternak selama 3 minggu sejak diproduksi, jika lebih dari 3 minggu ada kemungkinan terjadi kerusakan/kadaluwarsa. ini terkait juga dengan kondisi kemasan yang sudah mengalami bongkar muat sejak dari feedmill, delivery ke gudang peternak, kemudian ke kandang/farm. Ditandai dengan kondisi pakan yang sudah bau apek dan ada kutunya. Jika kondisi pakan sudah kadaluwarsa diberikan ke ayam, maka akan berakibat gangguan pencernaan.
Manajemen Kesehatan dan Pakan
Manajemen kesehatan juga harus bisa menyikapi problem-problem pakan. Demikian Dr Drh Soeripto MSV dari Bbalitvet Bogor, seraya memberi contoh misalnya konsumsi nutrisi lemak pada suhu tinggi mengandung linoleic acid dengan konsentrasi melebihi ambang normal dapat menyebabkan perlemakan hati dan ginjal.
Akibatnya, secara fungsional bila ginjal tidak bisa menjalankan fungsi detoksikasi akan sangat merepotkan. Demikian juga fungsi ginjal untuk filterisasi dengan organ kapsul bowman dalam ginjal dapat terganggu akibat keracunan, yang secara ekonomik sangat merugikan karena ayam menjadi terganggu pertumbuhannya.
Menurut dokter hewan peneliti ini, soal pakan, rata-rata cenderung dikebelakangkan oleh umumnya dokter hewan yang lebih memperhatikan penyakit infeksi. Padahal, soal pakan ini juga sangat terkait dengan penyakit.
Oleh karena itu, kata Dr Soeripto, “Pakan sangat perlu diperhatikan. Meskipun tidak secara sekaligus dapat langsung membunuh ayam, manajemen pakan harus dikontrol.”
Cara Memahami Pakan
Untuk program pemberian pakan ini sangat diperlukan pemahaman yang benar oleh peternak. Drh Desianto Budi Utomo PhD dari PT Charoend Pokpand Indonesia dalam Seminar Nasional ASOHI Topik Mengoptimalkan Produksi Ayam untuk Menyiasati Kenaikan Harga Pakan April 2007.
Menurutnya, untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, dapat diterapkan dengan demoplot. Caranya dengan mencari peternak yang mau berubah untuk percontohan dengan demoplot.
Misalnya untuk pemahaman terkait dengan pemberian pakan yang tepat pada ayam broiler, dengan demoplot dapat diberikan contoh perbedaan sistem pemberian pakan ganda (pada starter dan finisher) atau sistem pemberian pakan tunggal pada ayam broiler. Dengan memperhatikan langkah-langkah yang terkait dengan demoplot, perbedaan 2 sistem pemberian pakan itu akan diketahui yang mana yang paling baik.
Pada dasarnya pakan finisher energinya lebih tinggi. Dengan percobaan, dapat diketahui faktor-faktor perubahannya.
Perlu pemberian pakan sesuai pertumbuhan. Prinsipnya, guna melihat bukti untuk memperoleh sikap percaya dapat dilakukan demoplot. Tanpa itu, sulit, meski dilakukan seminar-seminar dan lain-lain wacana.
Bagi Prof Dr Ir Budi Tangenjaya Dewan Pakar ASOHI yang juga peneliti senior di Balai Penelitian Ternak, dalam kesempatan sama, petunjuk praktis untuk peternak memang sangat dibutuhkan. Misalnya pada peternakan ayam petelur, pakan dengan konsentrat tertentu dapat diaplikasikan dengan program excell pada komputer yang mencakup data-data yang ada.
Dalam hal aplikasi praktis ini keterbukaan harus ada. Misalnya peternak perlu tahu penggunaan konsentrat pabrikan dengan perimbangan tertentu dalam komposisinya seperti lisin, kalsium, dan lain-lain. Perubahan komposisi pun harus jelas.
Hal ini seperti halnya formulasi sederhana, jumlah biaya pun mesti kelihatan. Baik itu pada ayam petelur maupun ayam pedaging.
Praktisnya, misalnya, apa perlu mencampur jagung pada pakan itu. Apa perlu membuang koksidostat, atau perlu vitamin untuk hari terakhir pemeliharaan, pun bagaimana dengan mengencerkan jagung.
Menurut Dr Budi Tangenjaya, hal semacam itu setidaknya merupakan trik-trik untuk pemahaman formulasi pakan yang sangat bermanfaat bagi peternak.
Terkait trik ini, sesuai dalam beternak ayam petelur ini Drh Elfan Briska Darmawan seorang dokter hewan praktek dan juga sebagai peternak ayam petelur di Jabotabek mengungkapkan, “Mengenai jagung tidak ada alternatif lain. Tapi katul cukup murah. Jadi tetap dipakai sebagai konsentrat sebab harga pakan selangit.”
Ya, Semua Berawal dari Pakan
Memang, “Pakan juga dapat disinyalir sebagai faktor predisposisi munculnya penyakit pencernaan pada unggas,” kata Ir Hj Elfawati MSi dosen Nutrisi Unggas pada Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau.
Menurutnya, perubahan kandungan pakan, meliputi pH dan viskositas, kandungan energi pakan tinggi, program pakan terbatas, perubahan bentuk fisik pakan (tepung ke pelet) dan pemberian beberapa protein hewani dapat mempengaruhi mikroflora usus yang berdampak pada keradangan usus. Radang usus (enteritis) sering terjadi sebagai efek sekunder dari infeksi virus atau infeksi coccidia.
Pencegahannya, katanya, adalah dengan penggunaan growth promotor secara efektif, control infeksi coccidia, melindungi kinerja sistem kebal, biosekuriti menyeluruh dan penerapan sanitasi menyeluruh di farm peternakan.
Disamping itu, Kehadiran mikotoksin dalam pakan telah lama diketahui. Umumnya jenis mikotoksin yang sering dijumpai adalah Ochratoxin A, yang menyebabkan meningkatnya kerusakan intestinal.
Aflatoksin menyebabkan kerusakan hati, memblokir saluran pipa empedu dan penurunan kadar empedu di saluran usus lebih rendah. Akibatnya penyerapan lemak menjadi sangat kurang. Trichothecene (T-2) menyebabkan perlukaan di dalam rongga mulut, proventriculus, gizard dan usus. Sumber-sumber kontaminasi mikotoksin meliputi biji-bijian berjamur, tempat pakan yang kotor, peralatan pengangkut pakan yang tercemar.
Untuk mencegah tumbuhnya mikotoksin, sebaiknya membeli biji-bijian berkualitas dan disimpan dalam tempat yang sesuai kondisinya. Biji-bijian yang mengandung mikotoksin tinggi perlu ditambahkan agen pengikat dan dicampur dengan biji-bijian berkualitas baik untuk mengurangi efek negatif.
Kemudian menurut Eva, terkait tempat penyimpanan pakan, lokasinya harus dihindari dari terpaan sinar matahari langsung, kondisi lembab dan penumpukan yang melebihi kapasitas daya simpan gudang tersebut. Dalam pemakaian pakan, sebaiknya peternak menggunakan sistem FIFO (first in first out), dengan demikian pakan yang lawas tidak akan terkonsumsi lagi oleh ayam yang dipelihara peternak, pungkas Eva. (Daman, YR)
PAKAN DAN PENYAKIT PENCERNAAN
Menurut Zaenal Amin PT Cargill Indonesia Area Marketing Kerawang-Cirebon-Brebes, penyakit pencernaan yang terkait dengan pakan dipengaruhi oleh tiga hal:
1. Bahan baku pakan, terkait dengan kualitas bahan baku pakan yang dipergunakan, jika tidak memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan tentunya akan berakibat terganggunya pencernaan. Contoh: Bahan baku jagung, mensyaratkan kadar aflatoxin di bawah 50 ppb, jika di atas batas maksimal maka akan timbul penyakit pencernaan yang disebabkan aflatoxin.
2. Penyimpanan pakan. Jika gudang yang digunakan tidak memenuhi standar, misalnya suhu dan kelembaban tidak standar, atap bocor waktu hujan, maka pakan yang disimpan akan cepat rusak, ditandai dengan kondisi pakan yang menggumpal dan berjamur, dan jika dipaksakan untuk dikonsumsi oleh ternak, maka akan berakibat gangguan pencernaan.
3. Kadaluwarsa. Rata-rata pakan jadi, bisa disimpan dan baik digunakan untuk ternak selama 3 minggu sejak diproduksi, jika lebih dari 3 minggu ada kemungkinan terjadi kerusakan/kadaluwarsa. ini terkait juga dengan kondisi kemasan yang sudah mengalami bongkar muat sejak dari feedmill, delivery ke gudang peternak, kemudian ke kandang/farm. Ditandai dengan kondisi pakan yang sudah bau apek dan ada kutunya. Jika kondisi pakan sudah kadaluwarsa diberikan ke ayam, maka akan berakibat gangguan pencernaan.
Manajemen Kesehatan dan Pakan
Manajemen kesehatan juga harus bisa menyikapi problem-problem pakan. Demikian Dr Drh Soeripto MSV dari Bbalitvet Bogor, seraya memberi contoh misalnya konsumsi nutrisi lemak pada suhu tinggi mengandung linoleic acid dengan konsentrasi melebihi ambang normal dapat menyebabkan perlemakan hati dan ginjal.
Akibatnya, secara fungsional bila ginjal tidak bisa menjalankan fungsi detoksikasi akan sangat merepotkan. Demikian juga fungsi ginjal untuk filterisasi dengan organ kapsul bowman dalam ginjal dapat terganggu akibat keracunan, yang secara ekonomik sangat merugikan karena ayam menjadi terganggu pertumbuhannya.
Menurut dokter hewan peneliti ini, soal pakan, rata-rata cenderung dikebelakangkan oleh umumnya dokter hewan yang lebih memperhatikan penyakit infeksi. Padahal, soal pakan ini juga sangat terkait dengan penyakit.
Oleh karena itu, kata Dr Soeripto, “Pakan sangat perlu diperhatikan. Meskipun tidak secara sekaligus dapat langsung membunuh ayam, manajemen pakan harus dikontrol.”
Cara Memahami Pakan
Untuk program pemberian pakan ini sangat diperlukan pemahaman yang benar oleh peternak. Drh Desianto Budi Utomo PhD dari PT Charoend Pokpand Indonesia dalam Seminar Nasional ASOHI Topik Mengoptimalkan Produksi Ayam untuk Menyiasati Kenaikan Harga Pakan April 2007.
Menurutnya, untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, dapat diterapkan dengan demoplot. Caranya dengan mencari peternak yang mau berubah untuk percontohan dengan demoplot.
Misalnya untuk pemahaman terkait dengan pemberian pakan yang tepat pada ayam broiler, dengan demoplot dapat diberikan contoh perbedaan sistem pemberian pakan ganda (pada starter dan finisher) atau sistem pemberian pakan tunggal pada ayam broiler. Dengan memperhatikan langkah-langkah yang terkait dengan demoplot, perbedaan 2 sistem pemberian pakan itu akan diketahui yang mana yang paling baik.
Pada dasarnya pakan finisher energinya lebih tinggi. Dengan percobaan, dapat diketahui faktor-faktor perubahannya.
Perlu pemberian pakan sesuai pertumbuhan. Prinsipnya, guna melihat bukti untuk memperoleh sikap percaya dapat dilakukan demoplot. Tanpa itu, sulit, meski dilakukan seminar-seminar dan lain-lain wacana.
Bagi Prof Dr Ir Budi Tangenjaya Dewan Pakar ASOHI yang juga peneliti senior di Balai Penelitian Ternak, dalam kesempatan sama, petunjuk praktis untuk peternak memang sangat dibutuhkan. Misalnya pada peternakan ayam petelur, pakan dengan konsentrat tertentu dapat diaplikasikan dengan program excell pada komputer yang mencakup data-data yang ada.
Dalam hal aplikasi praktis ini keterbukaan harus ada. Misalnya peternak perlu tahu penggunaan konsentrat pabrikan dengan perimbangan tertentu dalam komposisinya seperti lisin, kalsium, dan lain-lain. Perubahan komposisi pun harus jelas.
Hal ini seperti halnya formulasi sederhana, jumlah biaya pun mesti kelihatan. Baik itu pada ayam petelur maupun ayam pedaging.
Praktisnya, misalnya, apa perlu mencampur jagung pada pakan itu. Apa perlu membuang koksidostat, atau perlu vitamin untuk hari terakhir pemeliharaan, pun bagaimana dengan mengencerkan jagung.
Menurut Dr Budi Tangenjaya, hal semacam itu setidaknya merupakan trik-trik untuk pemahaman formulasi pakan yang sangat bermanfaat bagi peternak.
Terkait trik ini, sesuai dalam beternak ayam petelur ini Drh Elfan Briska Darmawan seorang dokter hewan praktek dan juga sebagai peternak ayam petelur di Jabotabek mengungkapkan, “Mengenai jagung tidak ada alternatif lain. Tapi katul cukup murah. Jadi tetap dipakai sebagai konsentrat sebab harga pakan selangit.”
Ya, Semua Berawal dari Pakan
Memang, “Pakan juga dapat disinyalir sebagai faktor predisposisi munculnya penyakit pencernaan pada unggas,” kata Ir Hj Elfawati MSi dosen Nutrisi Unggas pada Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau.
Menurutnya, perubahan kandungan pakan, meliputi pH dan viskositas, kandungan energi pakan tinggi, program pakan terbatas, perubahan bentuk fisik pakan (tepung ke pelet) dan pemberian beberapa protein hewani dapat mempengaruhi mikroflora usus yang berdampak pada keradangan usus. Radang usus (enteritis) sering terjadi sebagai efek sekunder dari infeksi virus atau infeksi coccidia.
Pencegahannya, katanya, adalah dengan penggunaan growth promotor secara efektif, control infeksi coccidia, melindungi kinerja sistem kebal, biosekuriti menyeluruh dan penerapan sanitasi menyeluruh di farm peternakan.
Disamping itu, Kehadiran mikotoksin dalam pakan telah lama diketahui. Umumnya jenis mikotoksin yang sering dijumpai adalah Ochratoxin A, yang menyebabkan meningkatnya kerusakan intestinal.
Aflatoksin menyebabkan kerusakan hati, memblokir saluran pipa empedu dan penurunan kadar empedu di saluran usus lebih rendah. Akibatnya penyerapan lemak menjadi sangat kurang. Trichothecene (T-2) menyebabkan perlukaan di dalam rongga mulut, proventriculus, gizard dan usus. Sumber-sumber kontaminasi mikotoksin meliputi biji-bijian berjamur, tempat pakan yang kotor, peralatan pengangkut pakan yang tercemar.
Untuk mencegah tumbuhnya mikotoksin, sebaiknya membeli biji-bijian berkualitas dan disimpan dalam tempat yang sesuai kondisinya. Biji-bijian yang mengandung mikotoksin tinggi perlu ditambahkan agen pengikat dan dicampur dengan biji-bijian berkualitas baik untuk mengurangi efek negatif.
Kemudian menurut Eva, terkait tempat penyimpanan pakan, lokasinya harus dihindari dari terpaan sinar matahari langsung, kondisi lembab dan penumpukan yang melebihi kapasitas daya simpan gudang tersebut. Dalam pemakaian pakan, sebaiknya peternak menggunakan sistem FIFO (first in first out), dengan demikian pakan yang lawas tidak akan terkonsumsi lagi oleh ayam yang dipelihara peternak, pungkas Eva. (Daman, YR)