SELEKSI BENIH VIRUS AI UNTUK VAKSINASI


Infovet

SELEKSI BENIH VIRUS AI UNTUK VAKSINASI


asalah lain dalam strategi vaksinasi adalah penentuan seed virus yang digunakan sebagai bibit vaksin yang baku. Virus influenza merupakan virus yang secara antigenik sangat labil sehingga penentuan seed vaksin menjadi masalah yang pelik.

Virus Avian Influenza yang sangat palogen (highly pathogenic avian influenza virus/HPAI) subtipe H5N1, telah menyebabkan sampar ayam pada unggas di berbagai neqara di Asis seperfi Vietnam, Thailand, Cina, Jepang, Korea Selatan, Kamboja, Laos, dan Indonesia sejak akhir 2003 sampai sekarang (WHO 2005). Ratusan juta ayam dan itik telah dimusnahkan untuk menghentikan laju penyebarannya.

Di samping menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dan ancaman pada ketahanan pangan, virus HPAI ini juga telah terbukti dapat melompati barier spesies unggas-manusia dan dapat menjadi ancaman pandemi.

Karenanya, pencegahan infeksi pada unggas sangat penting. Strategi yang umum dilakukan untuk pengendalian Al pada unggas adalah pemusnahan unggas yang tertular dalam radius tertentu (stamping out/preemptive culling), biosekuriti, dan vaksinasi.

Berbagai sediaan vaksin Al untuk unggas telah banyak dicoba. Akan tetapi sediaan yang umum untuk penggunaan komersial adalah vaksin virus inaktif dalam adjuvant minyak. Vaksin jenis ini telah terbukti dapat melindungi unggas dari gejala klinis dan kematian, tetapi tidak menekan eksresi virus.

Fakta ini menimbulkan keraguan tentang daya-guna vaksinasi dalam mencegah penyebaran antar hewan. Penuiaran yang tak kasat mata ini meningkatkan risiko wabah baru dan membawa ancaman pada kesehatan masyarakal.

Untuk mengatasi masalah tersebut diusulkan untuk menerapkan strategi vaksinasi dengan sentinel dan teknologi DIVA yang membedakan antibodi akibal vaksinasi dengan infeksi alam. Mengingat masalah dalam aplikasi strategi diatas, jalan keluar terbaik adalah pengembangan vaksin yang mencegah transmisi virus dengan sempurna.

Vaksin yang mendekati kondisi ideal tersebut telah dikembangkan untuk virus AI subtipe H7N7. Vaksin untuk subtipe H5N1 yang mempunyai potensi menekan ekskresi virus secara sempurna belum pernah dilaporkan.

Masalah lain dalam strategi vaksinasi adalah penentuan seed virus yang digunakan sebagai bibit vaksin yang baku. Virus influenza merupakan virus yang secara antigenik sangat labil sehingga penentuan seed vaksin menjadi masalah yang pelik.

Perkembangan virus Al dan dampaknya pada penentuan seed vaksin diulas G Ngurah Mahardika dari Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan Wayan I Wibawan dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor kepada Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia dalam Media Unggas dan Aneka Ternak baru-baru ini. Atas ijin khusus Direktur Budidaya Ternak Non Ruminansia Drh Djajadi Gunawan MPH kepada Infovet pembaca dapat menikmati untuk sebuah pencerahan bersama sekaligus untuk dikritisi.

Pencegahan, Pengendalian, dan Eradikasi

Penyakit AI termasuk penyakit yang harus dimonitor dan dilaporkan. Kata kunci untuk tindakan pemusnahan (eradikasi) adalah diagnosis akurat dan segera. Kunci yang kedua untuk keberhasilan pencegahan, pengendalian, dan eradikasi adalah pengendalian harus dilakukan serentak dan seragam. Tanpa hal seperti ini, banyaknya hewan dan burung liar akan membuat Virus AI ganas lestari dan endemik di suatu wilayah.

Pemusnahan unggas yang tertular dan yang kontak dengannya dalam radius tertentu merupakan strategi yang paling efektif. Strategi ini meliputi penentuan zona karantina, pembatasan lalu lintas unggas dan produk-produknya serta manusia, repopulasi peternakan setelah tindakan pembersihan dan daerah yang bersangkutan memang bebas Virus AI HPAI.
Gelombang wabah H5N1 antara Juli sampai September 2004, diperkirakan terjadi karena pembersihan yang tidak memadai, pengujian yang tidak mencukupi, dan repopulasi yang terlalu dini. Jika wabah tidak meluas, dan virus belum endemik pada ternak unggas dan burung liar, strategi ini dapat berhasil.

Strategi ini telah terbukti berhasil di berbagai negara, seperti Amerika Serikat pada wabah H5N2 di Pennsylvania tahun 1980-an dan Jepang untuk H5N1 pada awal 2004.
Jika penyebaran suatu Virus AI HPAI pada ternak sudah demikian luas atau penyakit sudah menjadi endemik pada ternak dan burung liar, stamping out mustahil dilakukan. Strategi alternatif adalah stamping out plus vaksinasi. Strategi ini diadopsi oleh Cina dan Indonesia sejak 2004.

Strategi ini banyak ditentang, seperti pengalaman Meksiko dalam mengendalikan wabah HPAI H5N2 tahun 1990-an. Walaupun kasus wabah tidak dilaporkan kembali setelah penerapan strategi tersebut, sumber virus tetap bersirkulasi dan telah terbukti kembali mengganas di Amerika Tengah dan Amerika Serikat tahun 2004.

Program vaksinasi yang diterapkan di suatu negara membuat produk perunggasan negara tersebut tidak boleh diekspor. Thailand, yang juga tertular HPAI H5N1, masih menggolongkan tindakan vaksinasi sebagai ilegal.

Argumen penentang vaksinasi antara lain: vaksinasi tidak mendorong peternak untuk meningkatkan isolasi dan biosekuriti. Lalu vaksinasi dapat berhasil mencegah penyakit klinis akan tetapi tidak mencegah eksresi virus pada ayam yang divaksin.

Adapun penggunaan vaksin dilaporkan memicu munculnya varian akibat mutasi; penggunaan vaksin menyebabkan virus menjadi endemik seperti terjadi di Meksiko dan Amerika Tengah, dan mungkin sedang berlangsung di Asia.

Sementara itu penggunaan vaksin mempengaruhi perdagangan dan menyembunyikan virus menular yang masih ada.

Vaksinasi tampaknya memang telah menjadi pilihan Indonesia. Vaksinasi hendaknya disertai dengan strategi untuk memantau virus ganas yang mungkin masih beredar di kandang atau wilayah yang bersangkutan.

Dengan demikian, kebijakan vaksinasi mestinya disertai penyediaan dan pelaksanaan prosedur pemantauan virus yang pathogen pada ternakyang divaksin. Jika vaksin homolog digunakan, kelompok unggas sentinel yang sengaja tidak divaksin tersedia di sekitar kandang yang divaksin.

Aktivitas virus ganas dapat dipantau dari kelompok hewan ini. Penerapan vaksin heterolog digolongkan sebagai vaksin DIVA, singkatan dari "Differentiating Infection from Vaccinated Animal", membedakan hewan yang terinfeksi alami dengan hewan yang divaksinasi. Antibodi terhadap NA selain subtipe yang tersedia dalam vaksin menjadi indikator aktivitas virus ganas alami.

Perkembangan Virus AI

Sekalipun publikasi tentang genotipe virus Al H5N1 asal Indonesia belum banyak dipublikasi, data yang telah tersedia menunjukkan bahwa virus tersebut telah berevolusi dan kian menyebar di Indonesia melalui perantara lalu lintas unggas dan produk perunggasan.

Reassortment genetik dan peran burung liar migratori belum teridentifikasi. Seperti yang diduga, materi genetika virus Al H5N1 terus mengalami perubahan melalui mutasi (genetic drift) terutama pada segmen ke-4 yanj menyandi protein HA. Sequence gen I dari mayoritas virus H5N1 yan bersirkulasi pada burung selama 3 tahul terakhir telah terpisah menjadi duf 'phylogenetic clades' yang berbeda.

Grup 1 bersirkulasi Kamboja, Thailand dan Vietnam. Grup4 beredar di China dan Indonesia 2003-2004, yang kemudian menyebar ke Timur Tengah, Eropa, dan Afrika padal tahun 2005-2006. Grup ini juga telatif berkembang menjadi 6 sub-grup, tiga diantaranya mempunyai daerah penyebaran geografis yang berbeda dan merupakan agen penyebab kasus-kasus infeksi pada manusia di Indonesia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Cina.

Semua virus Indonesia yang dianalisis berada dalam satu klaster yang mengindikasikan introduksi virus awal yang sama. Analisis lebih lanjut menunjukkan virus H5N1 Indonesia membentuk tiga sub-l kelompok genetik.

Sub-kelompok Al ditemukan di Jawa, Sulawesi Selatan, danl Timor Barat. Sub-kelompok B terisolasil dari Jawa, Bali, Flores dan Timor Barat.

Sementara sub-kelompok C berasal dari isolat Jawa dan Sumatra.

Dari informasi tersebut tampak bahwa semua sub-kelompok ditemukan di Jawa, sementara daerah tertular lain umumnya mempunyai satu sub-kelompok saja. Hubungan ini mengindikasikan introduksi virus Al H5N1 di Indonesia yang pertama terjadi di Pulau Jawa yang kemudian menyebar ke pulau-pulau lainnya.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa perkembangan genetik virus Al H5N1 asal Indonesia tampaknya lebih kompleks dari postulasi tersebut.

Pohon filogenetik virus Al H5N1 isolat asal hewan dan manusia di Indonesia dengan mengikutsertakan isolat-isolat terakhir, termasuk isolat virus asal babi di Bali (data belum dipublikasikan) seperti ditampilkan pada Gambar menerangkan bahwa pembagian sub-kelompok A, B, dan C tampaknya belum mencakup semua isolat asal Indonesia. Beberapa isolat berada di luar sub-kelompok tersebut.

Khusus untuk Bali, ketiga sub-kelompok yang diisolasi di Jawa tampaknya juga menyebar di pulau tersebut.

Perkembangan tersebut mempengaruhi struktur antigenik virus Al yang menyebar di Asia, termasuk Indonesia. Kajian yang dilaporkan menunjukkan bahwa virus-virus asal Indonesia tidak bereaksi dengan antibodi terhadap representatif virus asal Vietnam, demikian juga sebaliknya, namun masih menunjukkan reaksi silang dengan virus asal Hong Kong dan Cina.

Di samping itu, variasi antigenik juga tampak sekali diantara virus-virus asal Indonesia. Variasi antigenik tersebut bahkan ditunjukkan dengan titer antibodi terhadap virus-virus dari masing-masing subkelompok sampai empat log.

Perkembangan tersebut juga mempunyai implikasi yang besar dalam pemilahan seed vaksin yang hendak digunakan di suatu wilayah. Idealnya, vaksin yang digunakan mestinya mempunyai homologi genetik dan antigenik yang mendekati sempurna dengan virus yang beredar di wilayah yang bersangkutan.

Untuk wilayah yang mempunyai virus yang berasal dari satu sub-kelompok, vaksin yang digunakan idealnya mengandung antigen dari masing-masing sub-kelompok.

Penggunaan seed vaksin yang tidak sesuai dapat menurunkan protektivitas vaksin. Kasus-kasus kegagalan vaksinasi mungkin akan semakin sering terjadi. Kalaupun unggas yang divaksin tetap tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata, penurunan produksi dan tingginya beban virus pada lingkungan dapat menjadi konsekuensi logis pada penggunaan seed vaksin yang tidak sesuai.

Dengan demikian risiko kerugian ekonomi dan kesehatan masyarakat akan tetaptinggi.
Di samping itu, penggunaan vaksin ditenggarai dapat memicu munculnya varian akibat mutasi dan vaksinasi menyembunyikan virus menular dapat menjadi ancaman baru. Dari survei virologi dan epidemiologi intensif di Cina Selatan, dilaporkan kemunculan dan dominasi virus Fujian-like sejak akhir 2005.

Virus ini menggantikan secara bertahap klaster virus yang sebelumnya beredar dan telah menyebabkan infeksi pada manusia di Cina belum lama ini. Disamping itu, virus Fujian-like ternyata telah tersebar di Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Thailand. Dominasi virus ini diduga difasilitasi program vaksinasi massal yang dilakukan di Cina. Hal serupa perlu dimonitor di Indonesia.

Sekalipun publikasi tentang genotipe virus Al H5N1 asal Indonesia belum banyak dipublikasi, data yang telah tersedia menunjukkan bahwa virus tersebut telah berevolusi dan kian menyebar di Indonesia melalui perantara lalu lintas unggas dan produk perunggasan.

Sesuai dengan sifat-sifat virus influenza, materi genetika virus Al H5N1 terus mengalami perubahan melalui mutasi (genetic drift) terutama pada segmen ke-4 yang menyandi protein HA. Semua virus Indonesia secara genetik berada dalam satu klaster yang mengindikasikan berawal dari introduksi virus awal yang sama.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahawa virus H5N1 Indonesia membentuk tiga sub-kelompok genetik dengan daerah sebaran geografis tertentu, kecuali di Pulau Jawa dan Bali yang mempunyai representatif ketiga kelompok itu.

Perkembangan tersebut mempengaruhi struktur antigenik virus Al yang menyebar di Asia, termasuk Indonesia. Virus-virus asal Indonesia tidak bereaksi dengan antibodi terhadap representatif virus asal Vietnam, demikian juga sebaliknya, namun masih menunjukkan reaksi silang dengan virus asal Hong Kong dan Cina.

Di samping itu, variasi antigenik juga tampak sekali, walaupun masih menunjukkan reaksi silang diantara virus-virus asal Indonesia.

Idealnya, vaksin yang digunakan mestinya mempunyai homologi genetik dan antigenikyang mendekati sempurna dengan virus yang beredar di wilayah yang bersangkutan.

Dalam hal menggunakan vaksin yang heterolog yang materi genetik H5-nya tidak berasal dari Indonesia, vaksin yang bersangkutan sebaiknya diuji tantang dengan representatif ketiga sub-kelompok virus yang beredar di Indonesia dan dipilah vaksin yang menunjukkan protektivitas klinis dan penekanan ekskresi virus seminimum mungkin.

Tentu uraian tulisan ini sangat bermanfaat untuk melacak keberadaan virus AI sekaligus bbit untuk vaksin di tanah air dalam menfatasi kemelut yang rasanya kalangan peternakan relatif sudah semakin lihai untuk menangani. Meski ada masalah di sana-sini, bukankah itu sebuah kewajaran dalam proses untuk menjadi lebih baik dalam menangani? Kiranya begitu. (YR)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls