SEJARAH DAN SIKAP MENGHADAPI PEMBIAKAN KASUS AI DI INDONESIA
(( Sejarah AI – Flu Burung di Indonesia dimulai tahun 2003.Kini, 4 tahun kemudian, kita mesti lebih sigap dan bijak. Apa yang mesti kita lakukan? ))
Pada Agustus 2003 Avian Influenza (HPAI) di Indonesia pertama kali dijumpai pada peternakan ayam komersial. Agen penyebabnya adalah virus influenza tipe A, sub tipe H5N1, yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Bagaimana AI pertama kali masuk ke Indonesia masih diperdebatkan.
Demikian pakar perunggasan Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD seraya menuturkan, letupan AI menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah di Jawa, kemudian meluas ke Sumatera Selatan, Bali, dan daerah lain di Indonesia.
Selanjutnya, pada Juli 2005, dijumpai kasus Flu Burung pertama pada manusia.
Pada tahun 2006, AI telah endemik di 30 propinsi (218 kabupaten/kota) dari 33 propinsi di Indonesia. Juga tersdapat kasus baru di Irian Jaya Barat dan Papua. Gejala klinik dan perubahan patologik seringkali tidak menciri untuk HPAI. Untuk itu perlu metode diagnostik yang akurat, cepat, dan praktis.
Perkembangan terakhir kasus AI pada ayam/unggas selama tahun 2006, hampir tidak pernah ditemukan pada peternakan ayam ras di sektor 1 dan 2. Juga sangat rendah pada peternakan ayam ras di sektor 3, khususnya peternakan dengan biosecurity longgar dan tidak divaksinasi terhadap AI.
Sementara itu di sektor 4, AI endemik pada ayam buras, itik, entog, dan burung puyuh sehingga dapat bertindak sebagai reservoir (silent host) virus AI. Sebagian besar kasus flu burung pada manusia dihubungkan dengan unggas yang dipelihara di sektor 4 ini.
Dengan perkembangan terakhir pada tahun 2007 akibat kematian pada manusia bertambah, memaksa kalangan peternakan untuk melaksanakan prioritas penanggulangan AI tahun 2007.
Prioritas itu, dituturkan Charles, adalah:
• sosialisasi untuk meningkatkan kepedulian peternak, industri, pemegang kebijakan, dan masyarakat umum
• restrukturisasi sistem pemeliharaan unggas, industri/usaha perunggasan, perdagangan, dan system distribusi
• vaksinasi
• monitoring dan surveilans
• perbaikan infrastruktur veteriner dan organisasi veteriner di tingkat pusat sampai
daerah
• riset dan pengembangan
• kerjasama internasional
Sementara dasar pertimbangan pemusnahan unggas non komersial di wilayah padat penduduk dengan kasus flu burung tinggi, adalah berdasar fakta bahwa:
• unggas peliharaan di pekarangan sebagai reservoir AI. Walaupun sebetulnya, sumber penularan AIV pada unggas sektor 4 belum diketahui pasti, masih berdasar asumsi penularan melalui berbagai cara (lihat artikel terkait).
• Kasus flu burung lebih banyak ditemukan pada orang yang erat dengan unggas sektor 4.
• Kasus flu burung tidak berhubungan langsung dengan unggas komersial sektor 1, 2 dan mungkin 3.
Tujuan pemusnahan adalah memutus mata rantai penularan AIV dari unggas ke manusia.
Akhirnya, Prof Charles menyarankan:
• Pemusnahan unggas komersial hendaknya terbatas di daerah padat pemukiman dengan kasus flu burung tinggi.
• Daerah lain perlu sosialisasi sistem pemeliharaan unggas yang benar untuk menekan resiko penularan AIV.
• Strategi penanggulangan harus dilakukan secara terpadu dengan mengacu pada 9 strategi penanggulangan AI. (YR)
Pada Agustus 2003 Avian Influenza (HPAI) di Indonesia pertama kali dijumpai pada peternakan ayam komersial. Agen penyebabnya adalah virus influenza tipe A, sub tipe H5N1, yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Bagaimana AI pertama kali masuk ke Indonesia masih diperdebatkan.
Demikian pakar perunggasan Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD seraya menuturkan, letupan AI menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah di Jawa, kemudian meluas ke Sumatera Selatan, Bali, dan daerah lain di Indonesia.
Selanjutnya, pada Juli 2005, dijumpai kasus Flu Burung pertama pada manusia.
Pada tahun 2006, AI telah endemik di 30 propinsi (218 kabupaten/kota) dari 33 propinsi di Indonesia. Juga tersdapat kasus baru di Irian Jaya Barat dan Papua. Gejala klinik dan perubahan patologik seringkali tidak menciri untuk HPAI. Untuk itu perlu metode diagnostik yang akurat, cepat, dan praktis.
Perkembangan terakhir kasus AI pada ayam/unggas selama tahun 2006, hampir tidak pernah ditemukan pada peternakan ayam ras di sektor 1 dan 2. Juga sangat rendah pada peternakan ayam ras di sektor 3, khususnya peternakan dengan biosecurity longgar dan tidak divaksinasi terhadap AI.
Sementara itu di sektor 4, AI endemik pada ayam buras, itik, entog, dan burung puyuh sehingga dapat bertindak sebagai reservoir (silent host) virus AI. Sebagian besar kasus flu burung pada manusia dihubungkan dengan unggas yang dipelihara di sektor 4 ini.
Dengan perkembangan terakhir pada tahun 2007 akibat kematian pada manusia bertambah, memaksa kalangan peternakan untuk melaksanakan prioritas penanggulangan AI tahun 2007.
Prioritas itu, dituturkan Charles, adalah:
• sosialisasi untuk meningkatkan kepedulian peternak, industri, pemegang kebijakan, dan masyarakat umum
• restrukturisasi sistem pemeliharaan unggas, industri/usaha perunggasan, perdagangan, dan system distribusi
• vaksinasi
• monitoring dan surveilans
• perbaikan infrastruktur veteriner dan organisasi veteriner di tingkat pusat sampai
daerah
• riset dan pengembangan
• kerjasama internasional
Sementara dasar pertimbangan pemusnahan unggas non komersial di wilayah padat penduduk dengan kasus flu burung tinggi, adalah berdasar fakta bahwa:
• unggas peliharaan di pekarangan sebagai reservoir AI. Walaupun sebetulnya, sumber penularan AIV pada unggas sektor 4 belum diketahui pasti, masih berdasar asumsi penularan melalui berbagai cara (lihat artikel terkait).
• Kasus flu burung lebih banyak ditemukan pada orang yang erat dengan unggas sektor 4.
• Kasus flu burung tidak berhubungan langsung dengan unggas komersial sektor 1, 2 dan mungkin 3.
Tujuan pemusnahan adalah memutus mata rantai penularan AIV dari unggas ke manusia.
Akhirnya, Prof Charles menyarankan:
• Pemusnahan unggas komersial hendaknya terbatas di daerah padat pemukiman dengan kasus flu burung tinggi.
• Daerah lain perlu sosialisasi sistem pemeliharaan unggas yang benar untuk menekan resiko penularan AIV.
• Strategi penanggulangan harus dilakukan secara terpadu dengan mengacu pada 9 strategi penanggulangan AI. (YR)