Fokus 2007

[Edisi 150 Januari]
KOLI SERANG MANUSIA DAN TERNAK

[Edisi 151 Pebruari]
HUJAN, MIKOTOKSIN DAN FLU BURUNG
ADAKAH PERAN KUCING DAN BABI PADA PENYEBARAN AI?
DOKTER HEWAN FLU BURUNG TIDAK DIPERHATIKAN KESELAMATAN HIDUPNYA
LEBIH KENAL H5N1 DAN PENULARANNYA
KEMBALI KETATKAN 9 STRATEGI PENGENDALIAN AI
SEJARAH DAN SIKAP MENGHADAPI PEMBIAKAN KASUS AI DI INDONESIA
GAGAH HADAPI AI JUGA DENGAN VAKSINASI

[Edisi 152 Maret]
MEMACU PERTUMBUHAN TERNAK SECARA ANGGUN DAN BERMARTABAT
MEMBEDAH PARA PEMACU PERTUMBUHAN
PRINSIP KEHATI-HATIAN PRA PRODUKSI PRODUK TERNAK YANG AMAN
PERAN OBAT HEWAN DALAM KEAMANAN PRODUK TERNAK

[Edisi 153 April]
PETERNAK, PENYAKIT BAKTERI DAN ANTIBIOTIK
OBAT HEWAN: SUDAH TEPATKAH PENGGUNAANNYA
DOSIS PENCEGAHAN TIDAK ADA?
PROGRAM YANG AMAN, BERMUTU DAN MANJUR
TENTUKAN SPEKTRUM ANTIBIOTIK SECARA TEPAT
PILIH SIDAL ATAU STATIK PAHAMI CARA KERJA ANTIBIOTIK
JANGAN SAMPAI TERJADI SUPER INFEKSI
ZAT AKTIF, GENERIK, PATEN, OBAT HEWAN DAN MANUSIA

[Edisi 154 Mei]
AI TERBARU TERUS MEMBURU DAN DIBURU
KEMBALI KE... BIOSECURITY!
BIOSECURITY, INVESTASI, ASURANSI DAN DESINFEKSI

[Edisi 155 Juni]
DARI LUMPUR LAPINDO SAMPAI PENYAKIT PENCERNAAN TERNAK
MEMILAH PENYAKIT PENCERNAAN PADA AYAM
PAKAN DAN PENYAKIT PENCERNAAN
MANAJEMEN YANG BAIK: SEPERTI APA?

[Edisi 156 Juli]
Penyakit Pernafasan Ternak Ada Apa?
STATUS PALING MUTAKHIR PENYAKIT PERNAFASAN AVIAN INFLUENZA

[Edisi 157 Agustus]
BEBERAPA KAJIAN DAN AKSI (Yang Tetap) MENDESAK
MENGINGAT VIRUS INFLUENZA
SELEKSI BENIH VIRUS AI UNTUK VAKSINASI
AI di DKI JAKARTA

[Edisi 158 September]
SECUIL IHWAL GEN UNTUK KETAHANAN TERNAK BEBAS AI
VAKSINASI, REAKSINYA DAN NUKLIR Untuk Ketahanan Tubuh Ternak
Sekali Lagi: DIAGNOSA YANG TEPAT
Ketika Ditemukan Kasus Flu Burung pada Manusia Pertama di Bali

[Edisi 159 Oktober]
Penyakit Parasit Itu Berbahaya Mengatasinya Sangatlah Mulia
PARASIT LALAT
Jurus Akademik Menguasai Ilmu Serangga dan Penyakitnya
Penyakit Protozoa Bukan Dusta
Ketika Ternak (Jangan) Diserang Cacing
Kasus Cacingan Pada Ayam
Kasus Cacingan Pada Ruminansia Sapi, Kambing, Domba dan Rusa
Bentuk Ketiga Cacing Pita Taenia Pada Babi
Berbagai Metode Pengobatan Penyakit Parasitik

[Edisi 160 November]
Broiler, Layer, Bisnis Obat dan OTT
MENGUJI MUTU OBAT HEWAN
OBAT HEWAN DAN KARANTINA
OBAT HEWAN DAN OTONOMI DAERAH
OBAT, VAKSIN DAN PUSLIT FLU BURUNG UNAIR
Flu Burung, Hewan Besar dan Obat Hewan
Pasar Membaik, Flu Burung, Obat dan Retribusi
Obat Hewan, Otoda dan RPH Unggas
Lawan Flu Burung, Telur dan Obat Ilegal

[Edisi 161 Desember]
5 GENOTIPE FLU BURUNG DAN EKOSISTEM KESEHATAN
Industri Obat Unggas 2008 Tumbuh 7,1%
Pakan Ternak Tumbuh 7% Pertahun Capai 8,13 Juta Ton
Broiler Naik 8,7 Persen dan Layer Meningkat 7,7 Persen

Berbagai Metode Pengobatan Penyakit Parasitik

Fokus Infovet

Berbagai Metode Pengobatan Penyakit Parasitik


(( Berbeda-beda tetapi tetap satu juga? Kiranya begitu. Banyak jalan menuju Roma, banyak obat melawan penyakit parasit, demi kesehatan ternak kita. ))

Narasumber pada Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Sains Veteriner (SVT) mengungkapkan, terdapat manifestasi penyakit di tingkat sel dan jaringan dari organ tubuh hewan secara komperatif, stadium perjalanan, resiko pada fungsi tubuh, dan berbagai kemungkinan etiologi yang mendasari baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius.

Setelah memahami mekanisme kejadian penyakit tersebut, barulah seorang ahli mampu menghubungkan konsep dasar ilmu pengetahuan medis dengan pola pengambilan keputusan klinis seperti penentuan diagnosa, pilihan prognosa, program terapi dan pencegahannya.

”Dalam mempelajari mekanisme kejadian penyakit, digunakan metode klasifikasi organ sistem untuk mengungkapkan fenomena respons sel dan jaringan terhadap agen yang merusak serta mengganggu fungsi tubuh,” kata narasumber tersebut.

Seorang ahli pun akan mampu menguraikan interaksi secara bertahap antara sel inang dan agen perusak (infeksius dan non-infeksius) secara rinci dan sistematis. Dan kesemuanya ini sangat penting sebagai dasar pengobatan penyakit. Hal ini pula yang mendasari pengobatan terhadap penyakit parasitik, yang disebabkan oleh parasit.

Berbagai jenis obat hewan anti protozoa, anthelmentika (anti cacing) dan anti ektoparasit (serangga) termaktub dalam Indeks Obat Hewan Indonesia (terakhir edisi V 2005) terbitan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI).

Indeks Obat Hewan Indonesia itu merupakan rujukan utama tentang obat yang legal dan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Obat-obat yang belum terdaftar di situ bisa jadi masih dalam proses perijinan, atau mungkin merupakan obat ilegal.

Obat Anti Protozoa
Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat bersaksi, lantaran obat untuk parasit darah protozoa harganya cukup mahal di samping itu jarang ada di pasaran, relatif sulit untuk memberantas anaplasma maupun piroplasma dalam darah hewan, kemungkinan dengan menghilangkan caplak dari lingkungan ternak dapat mengurangi penularan dari penyakit Anaplasmosis maupun Ppiroplasmosis.

Pernyataan Disnak Sumbar itu sekaligus sebagai masukan bagi Ditjen Peternakan Deptan RI yang telah mengeluarkan ijin terhadap berbagai jenis obat anti protozoa yang beredar di Indonesia yang termaktub dalam Indeks Obat Hewan tadi.

Jenis-jenis obat anti protozoa itu dicatat oleh Infovet zat aktifnya antara lain adalah: Diclazuril, Sulfaquinoksalin, Amprolium, Semduramisin, Toltrazuril, Diclorofenil Benseneatonitril, Monensin, Maduramisin, Sulfamonometoksin, Narasin dan Nikarbasin, Salinomisin, Isometamidum, juga ditambah Pirimetamin dan lain-lain.

Memang, dari indikasi obat-obat anti protozoa itu, kebanyakan adalah obat anti parasit Koksidiosis baik hewan besar (sapi, kambing, domba) maupun unggas dan ternak lain seperti kelinci. Lalu anti parasit Leucocytozoonosis (Malaria like disease) yang menyerang unggas, dan juga Trypanosomiasis yang menyerang sapi, kerbau, unta, kuda, keledai dan anjing.

Bagaimana dengan anti protozoa yang lain? Barangkali obat-obat tersebut bisa dimodifikasi sesuai sifat-sifat obat dan protozoa-nya yang bakal ditaklukkan? Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Sains Veteriner (SVT) mengungkapkan Obat Anti Protozoa memang butuh pengetahuan lebih mendalam mengenai kemampuan protozoa menginfeksi induk semang, cara-cara pencegahan dan pengendaliannya.

Ambillah contoh obat anti Toksoplasmosis yang diterapkan pada manusia. Di situ terdapat Spiramycin, suatu produk natural yang diperoleh dengan cara fermentasi dan ekstraksi dari jamur Streptomyces ambofaciens, merupakan satu-satunya makrolida yang dikenal mempunyai aktivitas antiparasit.

Spiramycin yang ditemukan oleh Pinnert-Sindico di Peronne, Perancis, merupakan anggota dari makrolida 16-ring yang mempunyai konsentrasi di jaringan tertinggi untuk kelas makrolida pada saat ini, serta mempunyai efek toksoplasmisidal yang cukup baik.

Jelas, soal obat-obat anti protozoa, kita yakin pasti banyak alternatif. Meski untuk hewan betul kita rasakan masih ada kendala seperti masukan dari Disnak Sumbar tadi.


Obat Anti Ektoparasit (Serangga Parasit)

Ditjen Peternakan Deptan RI telah mengeluarkan ijin terhadap berbagai jenis obat anti ektoparasit kutu, pinjal, nyamuk, caplak, lalat, tungau dan berbagai ektoparasit pada berbagai ternak.

Terdaftar pada Indeks Obat Hewan Indonesia, zat aktif obat-obat antiektoparasit itu antara lain Sevin, Ivermectin, Delmethrin, Moksidektin, Cipermetrin, Cyromasin, Doramektin, Fipronil, Permetrin, Selamektin. Bahkan satu perusahaan mempunyai obat yang merupakan komposisi berbagai jenis zat aktif glutaraldehid, didesilmetil, dioktidimetil, alkidimetilbensil dan derivat terpineol untuk insektisida spektrum luas.

Sebagai contoh praktis di lapangan, Drh Wasis Setyadi, seorang praktisi dokter hewan mandiri di Kulon Progo Yogyakarta mempunyai cara yang sangat effektif dan membuahkan hasil yang sangat memuaskan itu dengan penerapan preparat ivermectin 1%.

Dengan dosis seperti yang direkomendasikan dan aplikasi sub kutan/ bawah kulit, menurut Drh Wasis, mampu menuntaskan kasus myasis pada ternak. Maka ia pun berpendapat, Ivermectin adalah sebuah preparat yang mampu bekerja mengatasi infestasi parasit di dalam tubuh dan di luar tubuh ternak.

Sangat jarangnya preparat itu digunakan di peternakan rakyat oleh karena harganya yang tergolong tidak murah pada saat itu. Kini preparat itu sangat mudah diperoleh dan bahkan relatif murah harganya.

Adapun pengalaman lain, dalam membasmi lalat di peternakan, Zuhri Muhammad SPt Technical Serice PT Medion Cabang Pekanbaru Riau mempunyai kiat kontrol kimia melalui aplikasi insektisida atau obat-obatan (spray, fogs dan lain-lain). Pada bagian ini, alumni Fapet Unsoed Purwokerto ini menganjurkan memilih Cyromazine yang secara nyata telah terbukti keampuhannya dalam membasmi lalat di farm-farm peternakan.

”Adapun aplikasi pemakaiannya adalah mencampur Cyromazine dengan pakan, kemudian gunakan 4-6 minggu berturut-turut, setelah itu dihentikan selama 4-8 minggu, lalu dipakai kembali, ini bertujuan untuk memutus siklus hidup lalat,” katanya.

Biasanya ini dipakai untuk farm layer karena periode pemeliharaannya cukup panjang, sedang untuk broiler Zuhri lebih menganjurkan untuk menjaga kebersihan kandang, hindari genangan air dan jangan biarkan adanya pakan yang tersisa.

Zuhri Muhammad pun merekomendasikan untuk menggunakan suatu obat tertentu untuk menangani kutu, menurutnya, penggunaan obat ini di lapangan hasilnya cukup bagus.

Adapun teknik pemakaiannya dengan cara menyemprotkan ke bagian tubuh ayam yang terserang kutu tersebut dan ini dilakukan secara terus menerus sampai tidak ditemukan lagi kutu pada tubuh ayam dimaksud.

Adapun sumber di Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyatakan pengendalian penyakit kudis pada kambing antara lain dengan mengoleskan Benzoas bensilikus 10% pada luka, menyemprot domba dengan Coumaphos 0,05-0,1%.


Obat Anti Cacing

Untuk berbagai jenis obat anti anticacing (anthelmintik) melawan berbagai jenis cacing pada berbagai tahap siklus hidup, Ditjen Peternakan Deptan RI juga telah mengeluarkan ijin yang terdaftar pada Indeks Obat Hewan Indonesia.

Zat aktif obat-obat anthelmentik itu antara lain Levamisol, Albendazol, Piperasin, Nitroksinil, Ivermectin, Fenbendasol, Triclabendasol, Flubendasol, Pyrantel Pamoat, Hygromysin, Klosantel, Niklosamid, Tetramisol, Parasigvantel, Fenotiasin, Oxfendasol, Avermectin, Oksibendasol, Abamektin,

Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia menyatakan status nutrisi ayam juga mempengaruhi pembentukan kekebalan terhadap parasit cacing. Menurut penelitian ayam yang diberikan pakan dengan kadar vitamin A, B kompleks, kalsium, dan lisin yang tinggi akan meningkatkan resistensi terhadap Ascaridia galli.

Mengingat bahwa lalat dapat bertindak sebagai vektor mekanik dari telur Ascaridia galli, maka pengendalian terbaik terhadap cacing tersebut adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen kandang yang optimal, meliputi sanitasi/disinfeksi ketat dan pembasmian lalat.

Adapun, pencegahan dan pengobatan pada pullet biasanya diberikan sekitar umur 5 minggu, kemudian diulang dengan interval 4 minggu sampai ayam mencapai umur 21 minggu.

Sementara itu, Nyoman Sadra Dharmawan dari FKH Universitas Udayana Bali menyatakan, tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap taeniasis akibat T asiatica, hampir sama dengan pencegahan dan pengobatan pada penderita T saginata klasik.


Obat Herbal Anti Cacing

Saat beban biaya penggunaan obat cacing mencapai 50% dari seluruh total biaya medikasi dalam arus kas, beberapa efek samping yang merugikan ditemukan dalam penggunaan obat cacing farmasi, seperti peningkatan kekebalan cacing terhadap obat farmasi dan peningkatan kasus intoksikasi pada ternak akibat pemakaian dosis yang berlebihan.

Untuk itulah, Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan memberi pengobatan alternative terhadap kasus cacingan pada kambing selain dengan obat cacing pabrikan, bisa pula diberi: buah pinang yang hampir matang (tua) ditumbuk halus dan cairannya diminumkan (jangan diberikan kepada kambing yang sedang bunting).

Sementara di Sumatera, obat cacing tradisional seperti di Riau antara lain: Buah pinang ditumbuk halus kemudian digoreng tanpa minyak (disangrai), kemudian ambil 1 sendok teh dicampurkan 1 botol air (250 cc), lalu minumkan.

Adapun sumber Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan menyarankan soal obat dengan pinang itu, “Dapat pula diberi campuran terusi dengan air tembakau. Buatlah air tembakau sebanyak 1 liter sampai berwarna coklat tua, masukkan terusi 30 gram, diaduk sampai rata dan kemudian ditambah air 2 liter lagi.”

Selanjutnya, “Kambing dipuasakan dahulu selama 12 jam, lalu diberi campuran tersebut 30–50 cc (seperlima gelas) untuk setiap ekor kambing dewasa. Setelah diobati jangan diberi makan dahulu sampai 6 jam.”

Sementara itu Dr Drh Setiawan Koesdarto dan Dr Drh Sri Subekti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga serta Dr Herra Studiawan dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dalam suatu kesempatan menyatakan salah satu pilihan dalam mengobati infeksi toxocariasis sapi Penyakit Cacing pada Sapi adalah dengan Fraksinasi Minyak Atsiri Rimpang Temuireng (Curcuma aeruginosa RoxB).

Selanjutnyua berdasar informasi FAO Indonesia, pencegahan dan pengobatan dengan tehnik medikasi etno-veteriner di implementasikan di SPFS (Special Programme For Food Security) Asia Indonesia, dengan tujuan mendapatkan penampilan produksi terbaik dari kelompok tani. Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dan lain-lain.

Sumber FAO itu menyatakan, di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti pinang, bawang putih dan biji buah pepaya.

“Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, dimana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak,” kata Drh Johan Purnama MSc dan Taufikurrahman Pua Note, S.Pt, teknisi lapangan peternakan dan perikanan yang dalam suatu kesempatan menyatakan penggunaan Bahan Herbal Sebagai Obat Anti Cacing Untuk Ternak Sapi (Lombok Tengah).

Menurut mereka, dasar dari sistem medikasi etno-veteriner sebenarnya telah diletakkan sejak manusia melakukan domestikasi pada hewan liar untuk dijadikan hewan ternak, artinya sistem ini telah dikenal oleh nenek moyang kita dengan menggunakan manusia untuk dasar perbandingan dosis dan jenis obat yang digunakan.

Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dan lain-lain. Saat sekarang medikasi etno-veteriner telah mengalami kemajuan yang luar biasa dengan dasar-dasar biologi molekular yang sangat kuat dan ilmiah, bahkan penggunaan bahan natural telah ditujukan sebagai imuno-modulator untuk melawan beberapa jenis virus tertentu, seperti: Marek’s, Gumboro, Avian Influenza dan lain-lain.

Tehnik medikasi etno-veteriner ini telah mulai diperkenalkan di kelompok tani SPFS – Indonesia semenjak pertengahan tahun 2005 oleh Deputy Farming System-SPFS Drh Johan Purnama, MSc.

“Sebenarnya beberapa tanaman memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai obat anti-cacing dan hal ini biasa dilakukan dalam tehnik beternak pada jaman dahulu,” kata Johan.

Beberapa jenis tanaman yang biasa diberikan oleh peternak dengan tujuan sebagai obat cacing adalah: pinus, jahe, biji labu, biji pinang, bawang putih, pepaya, bawang putih, jahe, beberapa jenis tanaman karet (contoh : Ficus religiosa) dan beberapa jenis tanaman yang memiliki kandungan tanin dengan konsentrasi yang tinggi.

Drh Johan Purnama MSc menyatakan di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti pinang. Biji buah pinang biasa digunakan oleh penduduk asli Lombok (Suku Sasak) untuk campuran mengunyah sirih, pohon pinang sengaja ditanam oleh penduduk asli untuk tujuan ini.

Penggunaan biji buah pinang ini ternyata sangat efektif dan sangat murah, sehingga tujuan penghematan biaya pemeliharaan dapat tercapai dengan baik, sehingga penampilan sapi di kelompok tani SPFS di Lombok Tengah juga semakin meningkat, karena kesehatannya yang terjaga dan tidak ada lagi kekuatiran dalam masalah biaya obat serta masalah keracunan obat cacing yang biasa timbul bila digunakan obat cacing farmasi.

Lalu bawang putih. Bawang putih yang biasa digunakan untuk memasak di dapur juga mempunyai khasiat anti-cacing yang sangat efektif, terutama untuk melawan infestasi cacing Ascaris sp, Enterobius dan semua jenis cacing paru-paru. Keuntungan lain dari bawang putih adalah adanya kandungan antibiotika alami yang sangat aman dan tidak meninggalkan residu di sapi, antibiotika ini akan berperan sebagai ”growth promotor” pada laju pertumbuhan sapi.

Pada pengobatan sapi-sapi muda penggunaan bawang putih sangat disarankan karena tidak pernah ditemukan efek samping yang merugikan.

Kemudian Biji Buah Pepaya. Biji buah pepaya (Carica papaya) terbukti dapat digunakan sebagai obat cacing yang sangat efektif, terutama untuk infestasi Ascaris sp. Getah pohon pepaya juga memiliki efektivitas yang sama, tetapi secara tehnis penggunaan biji buah akan jauh lebih mudah .

Menurut Drh Johan Purnama MSc, Kelompok tani Amanah adalah salah satu lokasi implementasi medikasi etno-veteriner pada ternak, kelompok ini mendapatkan gelar sebagai kelompok petani ternak terbaik di tingkat propinsi NTB hingga belasan kali, diharapkan dengan melakukan implementasi medikasi etno-veteriner pada kelompok ini akan menjadi contoh dan teladan bagi kelompok tani lain di NTB.

“Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, di mana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak,” tutur Johan.

Hal positif lain yang didapatkan adalah bahwa petani menjadi semakin aktif belajar dalam usaha mencari alternatif obat untuk tujuan ekonomis. Rata-rata peningkatan populasi ternak untuk kelompok tani SPFS-Indonesia mencapai 87 % per tahun, dengan hambatan utama timbulnya penyakit-penyakit akibat sanitasi yang kurang baik karena kekurangan sumber air.

Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan rutin dengan perbaikan sanitasi secara optimal dan pemberian obat-obatan herbal diharapkan akan meningkatkan performa produksi ternak kelompok tani di Indonesia.

Berbeda-beda tetapi tetap satu juga? Kiranya begitu. Banyak jalan menuju Roma, banyak obat melawan penyakit parasit, demi kesehatan ternak kita. (Daman Suska, iyo, YR/ berbagai sumber)

MANAJEMEN YANG BAIK: SEPERTI APA?


Fokus Infovet Juni 2007

MANAJEMEN YANG BAIK: SEPERTI APA?


Diindikasikan oleh Drh Rochmad Fadillah, Pemasaran PT Wonokoyo Jaya Corporindo adanya kasus AI di Madiun tidak berani diakui terang-terangan oleh peternak dengan alasan utama diagnosanya belum pasti. Masih menduga-duga, meski ada indikasi, indikasi ini pun belum dapat dipastikan itu pasti gejala AI.

Keengganan peternak untuk menyingkap keberadaan ini sangat beralasan. Bilamana lingkungan masyarakat sekitar tahu kondisi ini, dapat membahayakan kelanjutan usaha peternakan. Bila peternak menolak pemeliharaan ternak ayam, di sini binis akan berhenti! Ini masalah besar bagi penghidupan masyarakat peternakan.

Untuk itulah, dalam menghadapi masalah seperti itu, diperlukan sebuah manajemen publik. Jenis manajemen ini sangatlah diperlukan, sama seperti halnya dengan manajemen-manajemen lain, yang terkait dengan penenggulangan penyakit tentu saja: Pemeliharaan pemeliharaan.

Salah satu usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi adalah dengan melakukan manajemen pemeliharaan yang baik. Di samping pakan dan pemilihan bibit yang tepat serta pengawasan terhadap kesehatan ayam. Faktor penyakit perlu dikaji lebih seksama karena memberikan dampak nyata terhadap budidaya ternak, hasil produksi, ekonomi dan politik dagang, benefit dan kenyamanan konsumen.

Program pencegahan dan pembasmian penyakit harus dengan manajemen yang baik, tepat, terencana dan efisien dari segi teknis, biaya dan teknologi. Demikian ditegaskan Ir Hj Elfawati MSi kepada kru Infovet Riau.

Menurutnya penyakit pada ayam datang berawal dari keteledoran peternak dalam mengelolah usahanya. Dalam berusaha ternak khususnya usaha peternakan broiler, hal mendasar yang perlu diperhatikan setelah penyediaan pakan yang cukup adalah penerapan manajemen pemeliharaan yang baik.

“Faktor ini dianggap penting karena dampak negatif bila peternak tidak mengindahkannya adalah kegagalan produksi akibat faktor penyakit yang datang dari manajemen yang amburadul tadi,” kata alumnus pasca sarjana Institut Pertanian Bogor ini.

Lebih lanjut dituturkan Eva, bicara penyakit pencernaan tentunya kita semua sepakat kalau hal tersebut tetap ada kaitannya dengan ransum yang dikonsumsi ayam.

Artinya, hanya pakan yang baiklah yang dapat memberikan jaminan produksi pada peternak dan sudah barang tentu pemberian pakan dengan kualitas yang baik pada ayam akan memangkas siklus hidup kuman penyakit yang dapat menyebabkan penyakit pencernaan pada ayam tersebut.

Penyakit pencernaan memang seringkali menjadi duri dalam daging bagi sebagian peternak di bumi pertiwi ini. Penyakit ini datang dan pergi begitu saja tanpa memberikan aba-aba yang pasti pada peternak.

Biasanya kejadian penyakit sering dikaitkan dengan pergantian musim, semisal ND datang pada saat peralihan dari musim panas ke hujan, demikian juga halnya dengan penyakit-penyakit pernafasan, sedang pada kasus penyakit pencernaan saat ini lebih banyak disebabkan oleh faktor manajemen ketimbang faktor musim.


Eliminir Faktor Stres

Stres atau cekaman merupakan keadaan ketika ayam mengalami ketegangan karena kondisi lingkungan yang tidak nyaman. Ketika broiler mengalami stres panas, mereka akan meningkatkan konsumsi air sebagai usaha untuk menyegarkan tubuhnya.

Sebagian besar air akan dibuang melalui feses, sehingga feses menjadi becek dan lembek. Pada layer berakibat mudah terserang penyakit, pertumbuhan terganggu, serta produksi telur menurun dan bahkan dapat berhenti sama sekali.

Di samping itu, stres panas dapat diikuti dengan perubahan fisik pada saluran pencernaan yang dapat dideteksi dengan ilmu histologi dalam 48 jam dan dapat diamati paling sedikit selama 3 hari. Perubahan yang terjadi meliputi penurunan panjang dan luas permukaan vili usus.

Menurut drh Jully Handoko juga dari fakultas yang sama, stres pada ayam umumnya disebabkan oleh perubahan iklim atau cuaca secara mendadak misalnya kejadian hujan lebat secara tiba-tiba, angin deras, udara panas dan atau udara dingin. Faktor lain sebagai pemicu stres adalah kebisingan suara, kejutan, perlakuan potong paruh, pindah kandang, makanan dan kepadatan kandang.

Agar ayam yang dipelihara terbebas dari stres, peternak secara berkala harus memberikan antistres pada ayam seperti vitamin dan produk sejenis lainnya. Di samping itu, menjauhi ayam dari pemicu faktor stres merupakan langkah bijak dalam raihan pulus yang membludak, pungkas Jully.


Air dan Penyakit Pencernaan

Drh Rochmad Fadillah, Pemasaran PT Wonokoyo Jaya Corporindo wilayah Madiun menyatakan bahwa di Madiun Jawa Timur, soal penyakit tidak begitu bermasalah. “Penyakit pencernaan tidak begitu menjadi problem karena air di Madiun tidak bermasalah. Yang bermasalah malah musim yang tidak menentu,” katanya.

Peternak memang acap mengaikan air dengan penyakit pencernaan seperti
Kolibasilosis. “Banyak orang beranggapan penyebabnya terkait dengan air saja, sedangkan pakan dan feses tidak berpengaruh. Padahal sesungguhnya kotoran ini merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya bakteri Koli penyebab kolibasilosis yang sesungguhnya sifatnya ada yang patogen dan tidak patogen,” kata Dr Drh Soeripto MSV peneliti dari Bbalitvet Bogor.

“Kalau dalam jumlah banyak dapat mengganggu keseimbangan mikro,” tutur Dr Soeripto.

Terkait dengan air yang melimpah saat musim penghujan, Drh Elfan Briska Darmawan seorang dokter hewan praktek dan juga sebagai peternak ayam petelur di Jabotabek mengungkap, “Menurut pengamatan yang saya ketahui, katanya, “Kolera biasa kalau musim hujan. Untuk mengatasinya, cukup sedia multivitamin dan asam amino, tapi kalau wabah cukup dengan antibiotik.” (Daman Suska/ YR).

BIOSECURITY, INVESTASI, ASURANSI DAN DESINFEKSI

Infovet

BIOSECURITY, INVESTASI, ASURANSI DAN DESINFEKSI


Pencegahan penyakit jauh lebih murah dan efektif daripada pengobatan. Untuk melakukan pencegahan, mencakup biosecurity serta vaksinasi baik cara vaksinasi, maupun waktu yang tepat. Demikian Drh Desianto Budi Utomo PhD dari PT Charoend Pokpand Indonesia dalam suatu kesempatan seraya melanjutkan, untuk penyakit spesifik seperti ND, IB, dan Gumboro, vaksinasinya harus sesuai. Demikian juga dengan penyakit spesifik seperti Koksidiosis. Apakah diperlukan vaksin Koksi, bagaimana bila menjumpai vaksin tidak efektif dan pemakaian tidak benar.

Biosecurity = Investasi
Dengan demikian, kata Dr Desianto, sangat dibutuhkan standar prosedur operasionalnya, seraya menambahkan sebab-musabab mortalitas ayam dapat ditelisik karena penyakit atau manajemen.
Kematian karena penyakit misalnya karena kasus Spiking Mortality Syndrome (SMS/ Sehari Mati Seribu) dapat diketahui kondisi panas tinggi, beda temperatur tinggi, sementara ayam pedaging tumbuh cepat.
Adapun kematian karena kepadatan ternak dapat dicegah dengan pembatasan jumlah ayam. Dapat disiasati dengan membatasi jumlah ayam per meter persegi, atau berat badan sekian kilogram per meter persegi.
Mengurangi kematian ayam karena maldrainase karena stres, stres panas pada jam-jam panas terbukti tidak efektif. Cara menekan mortalitas yang lain adalah bila asupan pakan lebih tinggi. Sehingga, penguasaan teknis menjadi sangat penting.
Bagi Dr Desianto, untuk mendukung tindakan-tindakan mencegah penyakit dan pengelolaan manajemen itu, biosecurity menjadi sangat penting artinya.
Baginya, biosecurity untuk dukungan penting itu jangan dianggap sebagai biaya yang harus dikeluarkan, tapi anggaplah sebagai investasi! Sama seperti dengan modal untuk investasi ayam dan pakan yang acam dihitung untuk menghitung kerugian saat ayam mengalami kematian.

Biosecurity = Asuransi
Biosecurity itu ibarat asuransi. Bilamana sekarang dilakukan, hasilnya baru dapat dirasakan belakangan.
“Kalau kita ke kandang, dan disemprot, bisa jadi kita menjadi bertanya-tanya mana makhluk yang dibasmi. Sebab, makhluk mikroorganisme yang kita lawan itu wujudnya tidak terlihat mata,” kata Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra
Peternak pun sepertinya harus punya iman ada atau tidak ada mikroorganisme yang penting sekarang kandang harus disemprot. Sedangkan manfaatnya baru dapat dirasakan di akhir nanti. Seperti halnya masuk rumah sakit harus didesinfektan, peternakan pun harus disemprot. Lebih-lebih kalau ada kasus, kandang yang disemprot jauh lebih baik daripada yang tidak disemprot.
Drh Andi menegaskan, menurut ilmuwan, biosecurity itu perlu dan hukumnya wajib dan harus. Tidak boleh kita tinggalkan biosecurity. Sebetulnya menghadapi mikroorganisme itu paling gampang, yang sulit adalah mengamankan dan membasmi sampaihabis belumtentu bisa total. Lain halnya kalau bisa dilihat maka mati bahwa mikroorganisme itu mati. Contoh otentiknya bila kandang disemprot, hasilnya tidak langsung tampak.

Desinfeksi
Jelas, biosecurity merupakan hal yang penting, terdapat beberapa jenis, dan sifatnya sama dengan asuransi. Drh Andi melanjutkan, Tindakannya sudah lazim dikenal seperti semprot-semprot musuh imajiner dan hasilnya baru diketahui belakangan. Hal itu sifatnya perlu, hukumnya wajib, dan sifatnya tidak pandang bulu baik itu terhadap orang, mobil, karyawan yang masuk lokasi peternakan dan kandang harus disemprot, tidak hanya saat kasus terjadi.
Sayangnya kondisi biosecurity sekarang, sudah ada yang kendor. Kalau ada orang masuk peternakan, mereka boleh langsung masuk tanpa disemprot. Yang ketat contohnya sanitasi di peternakan pembibitan. Perlakuan pembersihan sanitasi disini 1-2 kali seminggu dengan desinfektan, misalnya glutaraldehid dan cocobenzil. Desinfektan-desinfektan ini kerjanya mudah, baik untuk menghadapi virus, bakteri, maupun jamur.
Cara penggunaan desinfektan itu dengan formalin untuk kandang kosong, Sayangnya formaldehid (formalin) bersifat karsinogenik (dapat menimbulkan kanker). Kalau ada ayam pun, semua desinfektan harus berdosis ringan.
Adapun menurut Drh Suhardi, Manajer Produk PT Sanbe Farma, jenis desinfektan ada macam-macam sesuai target dan fungsi.
Bila kandang kosong menggunakan formaldehid. Untuk desinfeksi harian pada orang dengan heksalponium klorida, diterapkan pada orang maupun mobil. Untuk desinfeksi harian pada ayam, mencegah virus dan peternakan tetangga yang terserang penyakit, dengan desinfektan glutaraldehid.
Adapun desinfeksi pada air minum mencegah penyebaran penyakit dengan iodine dan heksalponium klorida.
Yang pasti, lanjut Drh Andi, minimal sanitasi dan kebersihan terjaga, ditingkatkan dengan desinfeksi dan fumigasi. Penyemprotan pun harus aman. Desinfektan yang aman diantaranya Kalium permanganat. Namun saya setelah tragedi bom Bali penjualan kalium permanganat diawasi, sehingga untuk mencarinya sulit. Ada perusahaan obat hewan yang memasarkan pengganti Kalium Permanganat.
Terkait dengan hal ini, Drh Setiadjit D Santoso Kepala Pabrik PT Romindo Primavetcom Cikarang Jawa Barat dalam suatu kesempatan mengungkapkan merebaknya kejadian flu burung menyebabkan meningkatnya pemakaian glutaraldehid sebagai desinfektan di lapangan. Meski sama derivat formaldehid, formalin nampaknya lebih ditakuti oleh aparat dan bahkan sempat dilakukan razia besar-besaran terhadap penimbunan formalin;
Menurutnya, glutaraldehid nampaknya lolos dari jerat aparat keamanan dan bahkan badan pom sehingga tidak mustahil glutaraldehid juga digunakan sebagai bahan pengawet makanan sebagai substitusi formalin.
“Bagaimana dampak glutaraldehid bagi kesehatan manusia, penggunaannya mungkin patut menjadi pemikiran,” kata Drh Adjit.
Kembali oleh Drh Andi, fumigasi dan pengasapan dengan formalin dan Kalium Permanganat yang lain harus dilakukan dalam ruang tertutup. Pengasapan pun harusnya tidak masalah. Misalnya dengan sediaan 50.000 per liter, 400 liter air untuk 12 meter persegi sampai 15 meter persegi.
Untuk perhitungan ongkos desinfektan, diambil produksi peternakan (100 persen), alokasi 8 persen untuk pengobatan, (obat, antibiotik, vaksin dan vitamin), pakan 75 persen, dan 20 persen untuk operasional dan karyawan; desinfeksi cuma 1/2 persen.
Biasanya peternak lebih memikirkan patokan harga lebih dulu. Uji cobanya mudah, daging dipotong dimasukkan dalam cairan desinfektan. Daging mana yang membusuk lebih lama (misalnya setelah 3 hari daging baru membusuk) menjadi pertanda kualitas desinfektan makin baik, sehingga desinfektan ini dipilih untuk dipakai.

Mencegah yang Dari Luar Masuk
Berbeda dengan vaksinasi, menurut Drh Suhardi, biosecurity pada dasarnya adalah tindakan mencegah masuknya penyakit dari luar. Vaksinasi pada ayam yang telah diprogramkan, bukan masuk satu paket pengendalian penyakit dari luar ini, namun vaksinasi merupakan paket pengendalian penyakit dari dalam.
Kecuali mencegah penyakit sedini mungkin, juga mencegah penyebarannya. Menghadapi masa inkubasi satu minggu, tambah lagi perlakuannya beberapa minggu. Perlu diidentifikasi penyakit apa yang ada, sedangkan lokasi kandang dan bangunan jangan dekat dengan pemukiman.
Supaya tidak sia-sia, tindakannya disesuaikan dengan pola-pola pemilihan kandangnya. Untuk panggung litter, berbeda dengan kandang baterai yang bawahnya lebih mudah mengundang lalat. Pada kandang litter perlu diperhatikan kelembaban lokasi yang menumbuhsuburkan virus lain. Juga perhatikan alat kandang, pakan dan lain-lain. Secara rutin, bersihkan tempat pakan dan gudang, cuci secara rutin jangan menjadi penyebaran penyakit, bersihkan sanitasi dari sawang dan kotoran,
Cegah kandang layer menjadi basah, kalau masih kering lakukan penyemprotan untuk mencegah lalat. Cegah kontaminasi karyawan, orang dan kendaraan. Kontrol tikus dan binatang-binatang lain. Airpun harus dideteksi setiap saat.
Apapun yang terjadi, biosecurity sangat dibutuhkan. Kalaupun mungkin skalanya kecil-kecilan di peternakan kecil, siapapun yang masuk di lokasi peternakan dankandang, kaki dan tangan mesti dicelup untuk desinfeksi. (YR)

DOSIS PENCEGAHAN TIDAK ADA?


Infovet 2007

DOSIS PENCEGAHAN TIDAK ADA?


Menurut Drh Toto Purwantoro Kepala Seksi Penjualan PT Romindo Primavetcom di Jawa Tengah, Antibiotik banyak diperlukan pada penanganan Kolibasilosis, Kolera, Nekrotik Enteritis dan CRD Kompleks.
Kolibasilosis banyak terjadi terkait dengan air, sehingga harus mencari sumber infeksi, tidak hanya mengobati. "Itu yang biasanya dilupakan untuk dilakukan oleh peternak," katanya seraya menambahkan bahwa, "Kontrol harus dilakukan secara terus-menerus."
Terkait dengan kontrol ini maka akan diketahui kondisi ternak dan peternakan. Bisa saja diketahui ternak mengalami stres lingkungan, stres vaksinasi, stres perubahan pakan dari fase strater, grower, finisher.
Pada kondisi semacam inilah potensi serangan bakteri bisa muncul Jumlah bakteri bisa meningkat, dalam tubuh ternak. Dengan kondisi ini akan masuk pada suatu tindakan yang disebut flushing yang intinya pencucian kuman!
Tindakan pencucian kuman ini dapat dikatagorikan dengan pemberian antibiotik dosis pencegahan. Namun Toto Purwantoro tidak setuju dengan istilah dosis pengobatan. Menurutnya pemberian antibiotik tetaplah pemberian antibiotik dengan dosis standar dan di manapun antibiotik harus diberikan dan dikonsumsi sampai habis, tuntas.
Dengan kata lain, untuk dosis Pencegahan yang diberikan lebih tepat dosis pengobatan. Atau, menurutnya dosis pencegahan itu sebetulnya tidaklah ada, karena dengan pemberian tidak sesuai standar sampai tuntas bisa menyebabkan resistensi kuman terhadap antibiotik.
Sehingga pengobatan tidak manjur karena kuman sudah kebal, akibat antibiotik yang diberikan tidak tuntas.
Perlakuan pencucian kuman ini patut dilakukan sebelum perbanyakan kuman menjadi merugikan peternakan.
Memang orang biasanya memakai dosis pencegahan, tidak langsung dosis pengobatan, namun menurut Toto hal ini sangat riskan karena kuman sudah berkembang biak Di kalangan umum, dikenal apa yang disebut sebagai dosis pencegahan untuk pemberian antibiotik. Namun Drh Toto Purwantoro dari PT Romindo Primavetcom Cabang Jawa Tengah berpendapat tidak ada yang namanya dosis pencegahan.
Bahkan, menurutnya, apapun namanya dosis pencegahan atau dosis pengobatan sama-sama diberikan antibiotik dengan dosis yang sama: yaitu dosis pengobatan!
Meskipun mungkin ayam tidak sakit, pemberian antibiotik dianggap untuk pencucian kuman. Artinya ayam tetap diobati (diberi antibiotik) dengan dosis pengobatan. Sebab pada ayam dianggap sudah ada infeksi, walau tanpa pemeriksaan.
Berdasar pengalaman, hal itu sudah pasti, ada bakteri karena bagaimanapun kondisi ayam/kandang tidak mungkin steril.
Anggota Komisi Obat Hewan Drh Abadi Soetisna MSc menengahi, benar bahwa dosis pencegahan harus sama dengan dosis pencegahan. Tindakan pemberian dosis yang dikurangi dari dosis yang seharusnya disebut sebagai sub terapi. Sub terapi macam ini bisa menimbulkan resistensi, di mana kuman dapat resisten terhadap obat tersebut!
Tindakan sub terapi dengan mengurangi dosis antibiotik yang mestinya diberikan biasanya diberikan oleh peternak, bukan dokter hewan. Biasanya diberikan ½ dosis, paling banyak pada ternak babi.
Pengobatan antibiotika lazim punya rentang waktu 3-5 hari pertama. Orang juga menganggap pemberian pada rentah terendah (3 hari) sebagai dosis pencegahan, dan rentang hari tertinggi (5 hari) sebagai dosis pengobatan. Mereka menganggap, untuk pencegahan, waktu pemberian dipersingkat (menjadi 3 hari saja).
Namun halitu sebetulnya sama saja,yaitu dosis pengobatan. Karena memang rentang pengobatan dengan antibiotik adalah 3 hari sampai 5 hari pertama. “Dosis pencegahan tidak ada,” tegas Drh Abadi Soestisna.
Ada pula yang melakukan dengan cara menurunkan dosis.Misalnya antibiotika penisilin yang dosisnya 10-20 iu/kg BB (international unit per kilogram berat badan). Untuk pencegahan orang memberikan 10 iu/kg BB.
Menurut Drh Abadi Soetisna, itu pun sebetulnya sama-sama dosis pengobatan. Dan kembali ditegaskan, “Sebetulnya dosis pencegahan tidak ada.”
Kalau begitu, bagaimana?
“Gunakan antibiotik bila perlu, seperlunya. Janagn ketakutan. Dosis sekian ya sekian. Tidak usah lama-lama. Setelah itu tahu bagaimana efeknya. Bila timbul penyakit, bagaimana menangani,” tegas Drh Abadi Soetisna memberi jalan keluar. (YR)

PERAN OBAT HEWAN DALAM KEAMANAN PRODUK TERNAK

Infovet

PERAN OBAT HEWAN DALAM KEAMANAN PRODUK TERNAK


(( Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan juga harus mengikuti petunjuk yang ada. ))

Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu keharusan agar produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan.
Dari pengamatan di lapang, pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur cenderung berlebihan tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar. Penggunaan obat hewan yang kurang tepat ini kemungkinan berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan, di mana 33,30% peternak ayam petelur skala kecil dan 30,80% peternak broiler skala kecil yang tidak mempunyai dokter hewan, mendapat obat langsung dari distributor atau importir, sehingga dikhawatirkan penggunaan obat-obatan tersebut tidak mengikuti aturan yang.
Seharusnya hanya peternak besar yang memiliki tenaga dokter hewan yang boleh berhubungan langsung dengan distributor atau importir obat. Selain itu, peternak sering kurang memahami waktu henti (withdrawaltime) suatu obat hewan sehingga meng-akibatkan munculnya residu pada produk ternak.
Waktu henti adalah kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi.Walaupun peternak mengetahui adanya waktu henti obat, sebagian dari mereka tidak mematuhinya. Sekitar 50% penyimpangan residu obat pada produk ternak disebabkan tidak dipatuhinya waktu henti pemberian obat.
Sejumlah 15,60% peternak di Australia tidak mematuhi ketentuan waktu henti obat, sedangkan di Indonesia hanya 8,16% peternak sapi perah yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu segar ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan
Pemakaian obat yang dilakukan oleh peternak sendiri telah menyebabkan penyimpangan residu obat pada produk ternak sebesar 63−65%. Keadaan ini kemungkinan besar berkaitan dengandosis dan waktu henti obat yang tidak diikuti. Di Australia, sekitar 35,40% pemakaian obat antimikroba tidak di-lakukan secara tepat.
Kesalahan semacam ini kemungkinan juga terjadi di Indonesia dengan persentase yang jauh lebih tinggi. Hanya 20% peternak sapi perah di Jawa Barat mengetahui jenisobat yang digunakan oleh petugas Dinas Peternakan atau koperasi. Dari 20% tersebut hanya 14,28% peternak yang mengetahui adanya waktu henti obat, sedangkan yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan hanya 8,16%.
Waktu henti obat hewan sangat bervariasi, bergantung pada: 1) jenis obat, 2) spesies hewan, 3) faktor genetik ternak, 4) iklim setempat, 5) cara pemberian, 6) dosis obat, 7) status kesehatan hewan, 8) produk ternak yang dihasilkan, 9) batas toleransi residu obat, dan 10) formulasi obat. Oleh karena itu, sudah sewajarnya setiap perusahaan yang memproduksi obat hewan mencantumkan keterangan secara jelas tentang waktu henti pemberian obat. Waktu henti pemberian obat hewan yang tidak dipatuhi menyebabkan terjadinya residu obat hewan pada produk ternak
Persentase kejadian cemaran antibiotik pada susu cukup tinggi (lebih dari 50%), dan jenis antibiotik yang paling sering mencemari susu adalah golongan penisilin dan tetrasiklin. Adanya cemaran kloramfenikol pada susu, pada-hal obat tersebut dilarang digunakan pada hewan.
Daging dan hati ayam banyak pula yang tercemar residu antibiotik terutama golongan penisilin dan tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding pada daging, Pada daging dan hati sapi juga dijumpairesidu antibiotik dan hormon.Residu antibiotik pada susu diperkirakan sebagai akibat pengobatan terhadap penyakit mastitis, karena prevalensi mastitis subklinis di Indonesia sangat tinggi yaitu 87,10%.
Keadaan ini diperkuat bahwa cukup banyak peternak sapi perah yang mengobati ternaknya sendiri, sedangkan peternak yang memahami waktu henti obat sangat sedikit. Kandungan residu obat yang me-lewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan akan menyebabkan daging dan susu tersebut tidak aman dikonsumsi karena dapat menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau mengakibatkan gangguan fisiologis pada manusia.
Hasil survei di Amerika menunjukkan sekitar 77 % responden mengkhawatirkan masalah residu obat-obatan (terutama golongan antibiotik) pada daging ternak. Beberap akasus gangguan terhadap resistensi bakteri Campylobacter yang berkaitan dengan masalah residu antibiotik di Amerika Serikat juga dilaporkan.
Penilaian terhadap daging, susu, dan telur bergantung pada kadar dan jenisresidu yang ditemukan pada produktersebut. Produk asal ternak yang mengandung residu obat di atas BMR sebaiknya tidak dikonsumsi apalagi diekspor.
Namun, pada kenyataannya residu obat hewan pada daging dan telur ayam banyak yang di atas BMR.

Pencegahan Dan Penanggulangan
Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan juga harus mengikuti petunjuk yang ada. Penggunaan pestisida dan bahan kimia lain untuk sanitasi lingkungan (kandang) juga harus hati-hati agar tidak mengkontaminasi pakan atau sumber air minum. (YR/Balitvet)

Dogs in costumes and beauty pageants...



It would be hard to say that this isn't adorable. And clever. I distinctly recall dogs as having four limbs.... I'm more impressed with the creativity associated with this costume than the fact that it is being sported by a species other than Homo sapiens.
Seeing a dog clad in a Halloween costume irks me, almost as much as being privy to a five year-old in a Southern Belle Beauty pageant (not irks, repulses me). Neither, however serve the dog or the child. A dog doesn't understand the purpose of the costume party, while a four year-old toddler may like the attention (like the dog) in a pageant but surely doesn't understand what exactly is going on around her. These activities and behaviour serve but their eccentric pet owners and whacko parents.
Would an interactive, fun, and educational visit to a museum or aquarium with one's young child not serve a child better than to transform her into a Barbie doll (risking shame and embarrassment, disappointment, and sadness)?
It is very different from dressing ourselves and our children in costumes, who understand the tradition and fun associated with it, just as a smart, young woman surely understands why she wants to be Miss Universe (which still makes me gag).

The excitement manifested by your dog on a walk or run on a wooded path, ravine, or beach, would far likely prove that this activity is much healthier (for dog and owner) than this:

I would much rather see a large (or even small) dog sporting a full backpack running through the forest with his owners. Here, the weight of the backpack is good for the dog and he is also working for his owners (the alpha leaders). This is what dogs do for a living, and love to do it!

Now THAT's a dog in a costume!


And to any parent contemplating entering their child into a beauty pageant, I would strongly recommend you do this with your child


instead of this



This is just $^%# sick...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls