Fokus Infovet
Berbagai Metode Pengobatan Penyakit Parasitik
(( Berbeda-beda tetapi tetap satu juga? Kiranya begitu. Banyak jalan menuju Roma, banyak obat melawan penyakit parasit, demi kesehatan ternak kita. ))
Narasumber pada Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Sains Veteriner (SVT) mengungkapkan, terdapat manifestasi penyakit di tingkat sel dan jaringan dari organ tubuh hewan secara komperatif, stadium perjalanan, resiko pada fungsi tubuh, dan berbagai kemungkinan etiologi yang mendasari baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius.
Setelah memahami mekanisme kejadian penyakit tersebut, barulah seorang ahli mampu menghubungkan konsep dasar ilmu pengetahuan medis dengan pola pengambilan keputusan klinis seperti penentuan diagnosa, pilihan prognosa, program terapi dan pencegahannya.
”Dalam mempelajari mekanisme kejadian penyakit, digunakan metode klasifikasi organ sistem untuk mengungkapkan fenomena respons sel dan jaringan terhadap agen yang merusak serta mengganggu fungsi tubuh,” kata narasumber tersebut.
Seorang ahli pun akan mampu menguraikan interaksi secara bertahap antara sel inang dan agen perusak (infeksius dan non-infeksius) secara rinci dan sistematis. Dan kesemuanya ini sangat penting sebagai dasar pengobatan penyakit. Hal ini pula yang mendasari pengobatan terhadap penyakit parasitik, yang disebabkan oleh parasit.
Berbagai jenis obat hewan anti protozoa, anthelmentika (anti cacing) dan anti ektoparasit (serangga) termaktub dalam Indeks Obat Hewan Indonesia (terakhir edisi V 2005) terbitan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI).
Indeks Obat Hewan Indonesia itu merupakan rujukan utama tentang obat yang legal dan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Obat-obat yang belum terdaftar di situ bisa jadi masih dalam proses perijinan, atau mungkin merupakan obat ilegal.
Obat Anti Protozoa
Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat bersaksi, lantaran obat untuk parasit darah protozoa harganya cukup mahal di samping itu jarang ada di pasaran, relatif sulit untuk memberantas anaplasma maupun piroplasma dalam darah hewan, kemungkinan dengan menghilangkan caplak dari lingkungan ternak dapat mengurangi penularan dari penyakit Anaplasmosis maupun Ppiroplasmosis.
Pernyataan Disnak Sumbar itu sekaligus sebagai masukan bagi Ditjen Peternakan Deptan RI yang telah mengeluarkan ijin terhadap berbagai jenis obat anti protozoa yang beredar di Indonesia yang termaktub dalam Indeks Obat Hewan tadi.
Jenis-jenis obat anti protozoa itu dicatat oleh Infovet zat aktifnya antara lain adalah: Diclazuril, Sulfaquinoksalin, Amprolium, Semduramisin, Toltrazuril, Diclorofenil Benseneatonitril, Monensin, Maduramisin, Sulfamonometoksin, Narasin dan Nikarbasin, Salinomisin, Isometamidum, juga ditambah Pirimetamin dan lain-lain.
Memang, dari indikasi obat-obat anti protozoa itu, kebanyakan adalah obat anti parasit Koksidiosis baik hewan besar (sapi, kambing, domba) maupun unggas dan ternak lain seperti kelinci. Lalu anti parasit Leucocytozoonosis (Malaria like disease) yang menyerang unggas, dan juga Trypanosomiasis yang menyerang sapi, kerbau, unta, kuda, keledai dan anjing.
Bagaimana dengan anti protozoa yang lain? Barangkali obat-obat tersebut bisa dimodifikasi sesuai sifat-sifat obat dan protozoa-nya yang bakal ditaklukkan? Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Sains Veteriner (SVT) mengungkapkan Obat Anti Protozoa memang butuh pengetahuan lebih mendalam mengenai kemampuan protozoa menginfeksi induk semang, cara-cara pencegahan dan pengendaliannya.
Ambillah contoh obat anti Toksoplasmosis yang diterapkan pada manusia. Di situ terdapat Spiramycin, suatu produk natural yang diperoleh dengan cara fermentasi dan ekstraksi dari jamur Streptomyces ambofaciens, merupakan satu-satunya makrolida yang dikenal mempunyai aktivitas antiparasit.
Spiramycin yang ditemukan oleh Pinnert-Sindico di Peronne, Perancis, merupakan anggota dari makrolida 16-ring yang mempunyai konsentrasi di jaringan tertinggi untuk kelas makrolida pada saat ini, serta mempunyai efek toksoplasmisidal yang cukup baik.
Jelas, soal obat-obat anti protozoa, kita yakin pasti banyak alternatif. Meski untuk hewan betul kita rasakan masih ada kendala seperti masukan dari Disnak Sumbar tadi.
Obat Anti Ektoparasit (Serangga Parasit)
Ditjen Peternakan Deptan RI telah mengeluarkan ijin terhadap berbagai jenis obat anti ektoparasit kutu, pinjal, nyamuk, caplak, lalat, tungau dan berbagai ektoparasit pada berbagai ternak.
Terdaftar pada Indeks Obat Hewan Indonesia, zat aktif obat-obat antiektoparasit itu antara lain Sevin, Ivermectin, Delmethrin, Moksidektin, Cipermetrin, Cyromasin, Doramektin, Fipronil, Permetrin, Selamektin. Bahkan satu perusahaan mempunyai obat yang merupakan komposisi berbagai jenis zat aktif glutaraldehid, didesilmetil, dioktidimetil, alkidimetilbensil dan derivat terpineol untuk insektisida spektrum luas.
Sebagai contoh praktis di lapangan, Drh Wasis Setyadi, seorang praktisi dokter hewan mandiri di Kulon Progo Yogyakarta mempunyai cara yang sangat effektif dan membuahkan hasil yang sangat memuaskan itu dengan penerapan preparat ivermectin 1%.
Dengan dosis seperti yang direkomendasikan dan aplikasi sub kutan/ bawah kulit, menurut Drh Wasis, mampu menuntaskan kasus myasis pada ternak. Maka ia pun berpendapat, Ivermectin adalah sebuah preparat yang mampu bekerja mengatasi infestasi parasit di dalam tubuh dan di luar tubuh ternak.
Sangat jarangnya preparat itu digunakan di peternakan rakyat oleh karena harganya yang tergolong tidak murah pada saat itu. Kini preparat itu sangat mudah diperoleh dan bahkan relatif murah harganya.
Adapun pengalaman lain, dalam membasmi lalat di peternakan, Zuhri Muhammad SPt Technical Serice PT Medion Cabang Pekanbaru Riau mempunyai kiat kontrol kimia melalui aplikasi insektisida atau obat-obatan (spray, fogs dan lain-lain). Pada bagian ini, alumni Fapet Unsoed Purwokerto ini menganjurkan memilih Cyromazine yang secara nyata telah terbukti keampuhannya dalam membasmi lalat di farm-farm peternakan.
”Adapun aplikasi pemakaiannya adalah mencampur Cyromazine dengan pakan, kemudian gunakan 4-6 minggu berturut-turut, setelah itu dihentikan selama 4-8 minggu, lalu dipakai kembali, ini bertujuan untuk memutus siklus hidup lalat,” katanya.
Biasanya ini dipakai untuk farm layer karena periode pemeliharaannya cukup panjang, sedang untuk broiler Zuhri lebih menganjurkan untuk menjaga kebersihan kandang, hindari genangan air dan jangan biarkan adanya pakan yang tersisa.
Zuhri Muhammad pun merekomendasikan untuk menggunakan suatu obat tertentu untuk menangani kutu, menurutnya, penggunaan obat ini di lapangan hasilnya cukup bagus.
Adapun teknik pemakaiannya dengan cara menyemprotkan ke bagian tubuh ayam yang terserang kutu tersebut dan ini dilakukan secara terus menerus sampai tidak ditemukan lagi kutu pada tubuh ayam dimaksud.
Adapun sumber di Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyatakan pengendalian penyakit kudis pada kambing antara lain dengan mengoleskan Benzoas bensilikus 10% pada luka, menyemprot domba dengan Coumaphos 0,05-0,1%.
Obat Anti Cacing
Untuk berbagai jenis obat anti anticacing (anthelmintik) melawan berbagai jenis cacing pada berbagai tahap siklus hidup, Ditjen Peternakan Deptan RI juga telah mengeluarkan ijin yang terdaftar pada Indeks Obat Hewan Indonesia.
Zat aktif obat-obat anthelmentik itu antara lain Levamisol, Albendazol, Piperasin, Nitroksinil, Ivermectin, Fenbendasol, Triclabendasol, Flubendasol, Pyrantel Pamoat, Hygromysin, Klosantel, Niklosamid, Tetramisol, Parasigvantel, Fenotiasin, Oxfendasol, Avermectin, Oksibendasol, Abamektin,
Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia menyatakan status nutrisi ayam juga mempengaruhi pembentukan kekebalan terhadap parasit cacing. Menurut penelitian ayam yang diberikan pakan dengan kadar vitamin A, B kompleks, kalsium, dan lisin yang tinggi akan meningkatkan resistensi terhadap Ascaridia galli.
Mengingat bahwa lalat dapat bertindak sebagai vektor mekanik dari telur Ascaridia galli, maka pengendalian terbaik terhadap cacing tersebut adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen kandang yang optimal, meliputi sanitasi/disinfeksi ketat dan pembasmian lalat.
Adapun, pencegahan dan pengobatan pada pullet biasanya diberikan sekitar umur 5 minggu, kemudian diulang dengan interval 4 minggu sampai ayam mencapai umur 21 minggu.
Sementara itu, Nyoman Sadra Dharmawan dari FKH Universitas Udayana Bali menyatakan, tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap taeniasis akibat T asiatica, hampir sama dengan pencegahan dan pengobatan pada penderita T saginata klasik.
Obat Herbal Anti Cacing
Saat beban biaya penggunaan obat cacing mencapai 50% dari seluruh total biaya medikasi dalam arus kas, beberapa efek samping yang merugikan ditemukan dalam penggunaan obat cacing farmasi, seperti peningkatan kekebalan cacing terhadap obat farmasi dan peningkatan kasus intoksikasi pada ternak akibat pemakaian dosis yang berlebihan.
Untuk itulah, Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan memberi pengobatan alternative terhadap kasus cacingan pada kambing selain dengan obat cacing pabrikan, bisa pula diberi: buah pinang yang hampir matang (tua) ditumbuk halus dan cairannya diminumkan (jangan diberikan kepada kambing yang sedang bunting).
Sementara di Sumatera, obat cacing tradisional seperti di Riau antara lain: Buah pinang ditumbuk halus kemudian digoreng tanpa minyak (disangrai), kemudian ambil 1 sendok teh dicampurkan 1 botol air (250 cc), lalu minumkan.
Adapun sumber Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan menyarankan soal obat dengan pinang itu, “Dapat pula diberi campuran terusi dengan air tembakau. Buatlah air tembakau sebanyak 1 liter sampai berwarna coklat tua, masukkan terusi 30 gram, diaduk sampai rata dan kemudian ditambah air 2 liter lagi.”
Selanjutnya, “Kambing dipuasakan dahulu selama 12 jam, lalu diberi campuran tersebut 30–50 cc (seperlima gelas) untuk setiap ekor kambing dewasa. Setelah diobati jangan diberi makan dahulu sampai 6 jam.”
Sementara itu Dr Drh Setiawan Koesdarto dan Dr Drh Sri Subekti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga serta Dr Herra Studiawan dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dalam suatu kesempatan menyatakan salah satu pilihan dalam mengobati infeksi toxocariasis sapi Penyakit Cacing pada Sapi adalah dengan Fraksinasi Minyak Atsiri Rimpang Temuireng (Curcuma aeruginosa RoxB).
Selanjutnyua berdasar informasi FAO Indonesia, pencegahan dan pengobatan dengan tehnik medikasi etno-veteriner di implementasikan di SPFS (Special Programme For Food Security) Asia Indonesia, dengan tujuan mendapatkan penampilan produksi terbaik dari kelompok tani. Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dan lain-lain.
Sumber FAO itu menyatakan, di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti pinang, bawang putih dan biji buah pepaya.
“Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, dimana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak,” kata Drh Johan Purnama MSc dan Taufikurrahman Pua Note, S.Pt, teknisi lapangan peternakan dan perikanan yang dalam suatu kesempatan menyatakan penggunaan Bahan Herbal Sebagai Obat Anti Cacing Untuk Ternak Sapi (Lombok Tengah).
Menurut mereka, dasar dari sistem medikasi etno-veteriner sebenarnya telah diletakkan sejak manusia melakukan domestikasi pada hewan liar untuk dijadikan hewan ternak, artinya sistem ini telah dikenal oleh nenek moyang kita dengan menggunakan manusia untuk dasar perbandingan dosis dan jenis obat yang digunakan.
Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dan lain-lain. Saat sekarang medikasi etno-veteriner telah mengalami kemajuan yang luar biasa dengan dasar-dasar biologi molekular yang sangat kuat dan ilmiah, bahkan penggunaan bahan natural telah ditujukan sebagai imuno-modulator untuk melawan beberapa jenis virus tertentu, seperti: Marek’s, Gumboro, Avian Influenza dan lain-lain.
Tehnik medikasi etno-veteriner ini telah mulai diperkenalkan di kelompok tani SPFS – Indonesia semenjak pertengahan tahun 2005 oleh Deputy Farming System-SPFS Drh Johan Purnama, MSc.
“Sebenarnya beberapa tanaman memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai obat anti-cacing dan hal ini biasa dilakukan dalam tehnik beternak pada jaman dahulu,” kata Johan.
Beberapa jenis tanaman yang biasa diberikan oleh peternak dengan tujuan sebagai obat cacing adalah: pinus, jahe, biji labu, biji pinang, bawang putih, pepaya, bawang putih, jahe, beberapa jenis tanaman karet (contoh : Ficus religiosa) dan beberapa jenis tanaman yang memiliki kandungan tanin dengan konsentrasi yang tinggi.
Drh Johan Purnama MSc menyatakan di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti pinang. Biji buah pinang biasa digunakan oleh penduduk asli Lombok (Suku Sasak) untuk campuran mengunyah sirih, pohon pinang sengaja ditanam oleh penduduk asli untuk tujuan ini.
Penggunaan biji buah pinang ini ternyata sangat efektif dan sangat murah, sehingga tujuan penghematan biaya pemeliharaan dapat tercapai dengan baik, sehingga penampilan sapi di kelompok tani SPFS di Lombok Tengah juga semakin meningkat, karena kesehatannya yang terjaga dan tidak ada lagi kekuatiran dalam masalah biaya obat serta masalah keracunan obat cacing yang biasa timbul bila digunakan obat cacing farmasi.
Lalu bawang putih. Bawang putih yang biasa digunakan untuk memasak di dapur juga mempunyai khasiat anti-cacing yang sangat efektif, terutama untuk melawan infestasi cacing Ascaris sp, Enterobius dan semua jenis cacing paru-paru. Keuntungan lain dari bawang putih adalah adanya kandungan antibiotika alami yang sangat aman dan tidak meninggalkan residu di sapi, antibiotika ini akan berperan sebagai ”growth promotor” pada laju pertumbuhan sapi.
Pada pengobatan sapi-sapi muda penggunaan bawang putih sangat disarankan karena tidak pernah ditemukan efek samping yang merugikan.
Kemudian Biji Buah Pepaya. Biji buah pepaya (Carica papaya) terbukti dapat digunakan sebagai obat cacing yang sangat efektif, terutama untuk infestasi Ascaris sp. Getah pohon pepaya juga memiliki efektivitas yang sama, tetapi secara tehnis penggunaan biji buah akan jauh lebih mudah .
Menurut Drh Johan Purnama MSc, Kelompok tani Amanah adalah salah satu lokasi implementasi medikasi etno-veteriner pada ternak, kelompok ini mendapatkan gelar sebagai kelompok petani ternak terbaik di tingkat propinsi NTB hingga belasan kali, diharapkan dengan melakukan implementasi medikasi etno-veteriner pada kelompok ini akan menjadi contoh dan teladan bagi kelompok tani lain di NTB.
“Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, di mana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak,” tutur Johan.
Hal positif lain yang didapatkan adalah bahwa petani menjadi semakin aktif belajar dalam usaha mencari alternatif obat untuk tujuan ekonomis. Rata-rata peningkatan populasi ternak untuk kelompok tani SPFS-Indonesia mencapai 87 % per tahun, dengan hambatan utama timbulnya penyakit-penyakit akibat sanitasi yang kurang baik karena kekurangan sumber air.
Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan rutin dengan perbaikan sanitasi secara optimal dan pemberian obat-obatan herbal diharapkan akan meningkatkan performa produksi ternak kelompok tani di Indonesia.
Berbeda-beda tetapi tetap satu juga? Kiranya begitu. Banyak jalan menuju Roma, banyak obat melawan penyakit parasit, demi kesehatan ternak kita. (Daman Suska, iyo, YR/ berbagai sumber)
Berbagai Metode Pengobatan Penyakit Parasitik
(( Berbeda-beda tetapi tetap satu juga? Kiranya begitu. Banyak jalan menuju Roma, banyak obat melawan penyakit parasit, demi kesehatan ternak kita. ))
Narasumber pada Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Sains Veteriner (SVT) mengungkapkan, terdapat manifestasi penyakit di tingkat sel dan jaringan dari organ tubuh hewan secara komperatif, stadium perjalanan, resiko pada fungsi tubuh, dan berbagai kemungkinan etiologi yang mendasari baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius.
Setelah memahami mekanisme kejadian penyakit tersebut, barulah seorang ahli mampu menghubungkan konsep dasar ilmu pengetahuan medis dengan pola pengambilan keputusan klinis seperti penentuan diagnosa, pilihan prognosa, program terapi dan pencegahannya.
”Dalam mempelajari mekanisme kejadian penyakit, digunakan metode klasifikasi organ sistem untuk mengungkapkan fenomena respons sel dan jaringan terhadap agen yang merusak serta mengganggu fungsi tubuh,” kata narasumber tersebut.
Seorang ahli pun akan mampu menguraikan interaksi secara bertahap antara sel inang dan agen perusak (infeksius dan non-infeksius) secara rinci dan sistematis. Dan kesemuanya ini sangat penting sebagai dasar pengobatan penyakit. Hal ini pula yang mendasari pengobatan terhadap penyakit parasitik, yang disebabkan oleh parasit.
Berbagai jenis obat hewan anti protozoa, anthelmentika (anti cacing) dan anti ektoparasit (serangga) termaktub dalam Indeks Obat Hewan Indonesia (terakhir edisi V 2005) terbitan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI).
Indeks Obat Hewan Indonesia itu merupakan rujukan utama tentang obat yang legal dan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Obat-obat yang belum terdaftar di situ bisa jadi masih dalam proses perijinan, atau mungkin merupakan obat ilegal.
Obat Anti Protozoa
Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat bersaksi, lantaran obat untuk parasit darah protozoa harganya cukup mahal di samping itu jarang ada di pasaran, relatif sulit untuk memberantas anaplasma maupun piroplasma dalam darah hewan, kemungkinan dengan menghilangkan caplak dari lingkungan ternak dapat mengurangi penularan dari penyakit Anaplasmosis maupun Ppiroplasmosis.
Pernyataan Disnak Sumbar itu sekaligus sebagai masukan bagi Ditjen Peternakan Deptan RI yang telah mengeluarkan ijin terhadap berbagai jenis obat anti protozoa yang beredar di Indonesia yang termaktub dalam Indeks Obat Hewan tadi.
Jenis-jenis obat anti protozoa itu dicatat oleh Infovet zat aktifnya antara lain adalah: Diclazuril, Sulfaquinoksalin, Amprolium, Semduramisin, Toltrazuril, Diclorofenil Benseneatonitril, Monensin, Maduramisin, Sulfamonometoksin, Narasin dan Nikarbasin, Salinomisin, Isometamidum, juga ditambah Pirimetamin dan lain-lain.
Memang, dari indikasi obat-obat anti protozoa itu, kebanyakan adalah obat anti parasit Koksidiosis baik hewan besar (sapi, kambing, domba) maupun unggas dan ternak lain seperti kelinci. Lalu anti parasit Leucocytozoonosis (Malaria like disease) yang menyerang unggas, dan juga Trypanosomiasis yang menyerang sapi, kerbau, unta, kuda, keledai dan anjing.
Bagaimana dengan anti protozoa yang lain? Barangkali obat-obat tersebut bisa dimodifikasi sesuai sifat-sifat obat dan protozoa-nya yang bakal ditaklukkan? Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Sains Veteriner (SVT) mengungkapkan Obat Anti Protozoa memang butuh pengetahuan lebih mendalam mengenai kemampuan protozoa menginfeksi induk semang, cara-cara pencegahan dan pengendaliannya.
Ambillah contoh obat anti Toksoplasmosis yang diterapkan pada manusia. Di situ terdapat Spiramycin, suatu produk natural yang diperoleh dengan cara fermentasi dan ekstraksi dari jamur Streptomyces ambofaciens, merupakan satu-satunya makrolida yang dikenal mempunyai aktivitas antiparasit.
Spiramycin yang ditemukan oleh Pinnert-Sindico di Peronne, Perancis, merupakan anggota dari makrolida 16-ring yang mempunyai konsentrasi di jaringan tertinggi untuk kelas makrolida pada saat ini, serta mempunyai efek toksoplasmisidal yang cukup baik.
Jelas, soal obat-obat anti protozoa, kita yakin pasti banyak alternatif. Meski untuk hewan betul kita rasakan masih ada kendala seperti masukan dari Disnak Sumbar tadi.
Obat Anti Ektoparasit (Serangga Parasit)
Ditjen Peternakan Deptan RI telah mengeluarkan ijin terhadap berbagai jenis obat anti ektoparasit kutu, pinjal, nyamuk, caplak, lalat, tungau dan berbagai ektoparasit pada berbagai ternak.
Terdaftar pada Indeks Obat Hewan Indonesia, zat aktif obat-obat antiektoparasit itu antara lain Sevin, Ivermectin, Delmethrin, Moksidektin, Cipermetrin, Cyromasin, Doramektin, Fipronil, Permetrin, Selamektin. Bahkan satu perusahaan mempunyai obat yang merupakan komposisi berbagai jenis zat aktif glutaraldehid, didesilmetil, dioktidimetil, alkidimetilbensil dan derivat terpineol untuk insektisida spektrum luas.
Sebagai contoh praktis di lapangan, Drh Wasis Setyadi, seorang praktisi dokter hewan mandiri di Kulon Progo Yogyakarta mempunyai cara yang sangat effektif dan membuahkan hasil yang sangat memuaskan itu dengan penerapan preparat ivermectin 1%.
Dengan dosis seperti yang direkomendasikan dan aplikasi sub kutan/ bawah kulit, menurut Drh Wasis, mampu menuntaskan kasus myasis pada ternak. Maka ia pun berpendapat, Ivermectin adalah sebuah preparat yang mampu bekerja mengatasi infestasi parasit di dalam tubuh dan di luar tubuh ternak.
Sangat jarangnya preparat itu digunakan di peternakan rakyat oleh karena harganya yang tergolong tidak murah pada saat itu. Kini preparat itu sangat mudah diperoleh dan bahkan relatif murah harganya.
Adapun pengalaman lain, dalam membasmi lalat di peternakan, Zuhri Muhammad SPt Technical Serice PT Medion Cabang Pekanbaru Riau mempunyai kiat kontrol kimia melalui aplikasi insektisida atau obat-obatan (spray, fogs dan lain-lain). Pada bagian ini, alumni Fapet Unsoed Purwokerto ini menganjurkan memilih Cyromazine yang secara nyata telah terbukti keampuhannya dalam membasmi lalat di farm-farm peternakan.
”Adapun aplikasi pemakaiannya adalah mencampur Cyromazine dengan pakan, kemudian gunakan 4-6 minggu berturut-turut, setelah itu dihentikan selama 4-8 minggu, lalu dipakai kembali, ini bertujuan untuk memutus siklus hidup lalat,” katanya.
Biasanya ini dipakai untuk farm layer karena periode pemeliharaannya cukup panjang, sedang untuk broiler Zuhri lebih menganjurkan untuk menjaga kebersihan kandang, hindari genangan air dan jangan biarkan adanya pakan yang tersisa.
Zuhri Muhammad pun merekomendasikan untuk menggunakan suatu obat tertentu untuk menangani kutu, menurutnya, penggunaan obat ini di lapangan hasilnya cukup bagus.
Adapun teknik pemakaiannya dengan cara menyemprotkan ke bagian tubuh ayam yang terserang kutu tersebut dan ini dilakukan secara terus menerus sampai tidak ditemukan lagi kutu pada tubuh ayam dimaksud.
Adapun sumber di Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyatakan pengendalian penyakit kudis pada kambing antara lain dengan mengoleskan Benzoas bensilikus 10% pada luka, menyemprot domba dengan Coumaphos 0,05-0,1%.
Obat Anti Cacing
Untuk berbagai jenis obat anti anticacing (anthelmintik) melawan berbagai jenis cacing pada berbagai tahap siklus hidup, Ditjen Peternakan Deptan RI juga telah mengeluarkan ijin yang terdaftar pada Indeks Obat Hewan Indonesia.
Zat aktif obat-obat anthelmentik itu antara lain Levamisol, Albendazol, Piperasin, Nitroksinil, Ivermectin, Fenbendasol, Triclabendasol, Flubendasol, Pyrantel Pamoat, Hygromysin, Klosantel, Niklosamid, Tetramisol, Parasigvantel, Fenotiasin, Oxfendasol, Avermectin, Oksibendasol, Abamektin,
Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia menyatakan status nutrisi ayam juga mempengaruhi pembentukan kekebalan terhadap parasit cacing. Menurut penelitian ayam yang diberikan pakan dengan kadar vitamin A, B kompleks, kalsium, dan lisin yang tinggi akan meningkatkan resistensi terhadap Ascaridia galli.
Mengingat bahwa lalat dapat bertindak sebagai vektor mekanik dari telur Ascaridia galli, maka pengendalian terbaik terhadap cacing tersebut adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen kandang yang optimal, meliputi sanitasi/disinfeksi ketat dan pembasmian lalat.
Adapun, pencegahan dan pengobatan pada pullet biasanya diberikan sekitar umur 5 minggu, kemudian diulang dengan interval 4 minggu sampai ayam mencapai umur 21 minggu.
Sementara itu, Nyoman Sadra Dharmawan dari FKH Universitas Udayana Bali menyatakan, tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap taeniasis akibat T asiatica, hampir sama dengan pencegahan dan pengobatan pada penderita T saginata klasik.
Obat Herbal Anti Cacing
Saat beban biaya penggunaan obat cacing mencapai 50% dari seluruh total biaya medikasi dalam arus kas, beberapa efek samping yang merugikan ditemukan dalam penggunaan obat cacing farmasi, seperti peningkatan kekebalan cacing terhadap obat farmasi dan peningkatan kasus intoksikasi pada ternak akibat pemakaian dosis yang berlebihan.
Untuk itulah, Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan memberi pengobatan alternative terhadap kasus cacingan pada kambing selain dengan obat cacing pabrikan, bisa pula diberi: buah pinang yang hampir matang (tua) ditumbuk halus dan cairannya diminumkan (jangan diberikan kepada kambing yang sedang bunting).
Sementara di Sumatera, obat cacing tradisional seperti di Riau antara lain: Buah pinang ditumbuk halus kemudian digoreng tanpa minyak (disangrai), kemudian ambil 1 sendok teh dicampurkan 1 botol air (250 cc), lalu minumkan.
Adapun sumber Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan menyarankan soal obat dengan pinang itu, “Dapat pula diberi campuran terusi dengan air tembakau. Buatlah air tembakau sebanyak 1 liter sampai berwarna coklat tua, masukkan terusi 30 gram, diaduk sampai rata dan kemudian ditambah air 2 liter lagi.”
Selanjutnya, “Kambing dipuasakan dahulu selama 12 jam, lalu diberi campuran tersebut 30–50 cc (seperlima gelas) untuk setiap ekor kambing dewasa. Setelah diobati jangan diberi makan dahulu sampai 6 jam.”
Sementara itu Dr Drh Setiawan Koesdarto dan Dr Drh Sri Subekti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga serta Dr Herra Studiawan dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dalam suatu kesempatan menyatakan salah satu pilihan dalam mengobati infeksi toxocariasis sapi Penyakit Cacing pada Sapi adalah dengan Fraksinasi Minyak Atsiri Rimpang Temuireng (Curcuma aeruginosa RoxB).
Selanjutnyua berdasar informasi FAO Indonesia, pencegahan dan pengobatan dengan tehnik medikasi etno-veteriner di implementasikan di SPFS (Special Programme For Food Security) Asia Indonesia, dengan tujuan mendapatkan penampilan produksi terbaik dari kelompok tani. Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dan lain-lain.
Sumber FAO itu menyatakan, di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti pinang, bawang putih dan biji buah pepaya.
“Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, dimana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak,” kata Drh Johan Purnama MSc dan Taufikurrahman Pua Note, S.Pt, teknisi lapangan peternakan dan perikanan yang dalam suatu kesempatan menyatakan penggunaan Bahan Herbal Sebagai Obat Anti Cacing Untuk Ternak Sapi (Lombok Tengah).
Menurut mereka, dasar dari sistem medikasi etno-veteriner sebenarnya telah diletakkan sejak manusia melakukan domestikasi pada hewan liar untuk dijadikan hewan ternak, artinya sistem ini telah dikenal oleh nenek moyang kita dengan menggunakan manusia untuk dasar perbandingan dosis dan jenis obat yang digunakan.
Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dan lain-lain. Saat sekarang medikasi etno-veteriner telah mengalami kemajuan yang luar biasa dengan dasar-dasar biologi molekular yang sangat kuat dan ilmiah, bahkan penggunaan bahan natural telah ditujukan sebagai imuno-modulator untuk melawan beberapa jenis virus tertentu, seperti: Marek’s, Gumboro, Avian Influenza dan lain-lain.
Tehnik medikasi etno-veteriner ini telah mulai diperkenalkan di kelompok tani SPFS – Indonesia semenjak pertengahan tahun 2005 oleh Deputy Farming System-SPFS Drh Johan Purnama, MSc.
“Sebenarnya beberapa tanaman memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai obat anti-cacing dan hal ini biasa dilakukan dalam tehnik beternak pada jaman dahulu,” kata Johan.
Beberapa jenis tanaman yang biasa diberikan oleh peternak dengan tujuan sebagai obat cacing adalah: pinus, jahe, biji labu, biji pinang, bawang putih, pepaya, bawang putih, jahe, beberapa jenis tanaman karet (contoh : Ficus religiosa) dan beberapa jenis tanaman yang memiliki kandungan tanin dengan konsentrasi yang tinggi.
Drh Johan Purnama MSc menyatakan di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti pinang. Biji buah pinang biasa digunakan oleh penduduk asli Lombok (Suku Sasak) untuk campuran mengunyah sirih, pohon pinang sengaja ditanam oleh penduduk asli untuk tujuan ini.
Penggunaan biji buah pinang ini ternyata sangat efektif dan sangat murah, sehingga tujuan penghematan biaya pemeliharaan dapat tercapai dengan baik, sehingga penampilan sapi di kelompok tani SPFS di Lombok Tengah juga semakin meningkat, karena kesehatannya yang terjaga dan tidak ada lagi kekuatiran dalam masalah biaya obat serta masalah keracunan obat cacing yang biasa timbul bila digunakan obat cacing farmasi.
Lalu bawang putih. Bawang putih yang biasa digunakan untuk memasak di dapur juga mempunyai khasiat anti-cacing yang sangat efektif, terutama untuk melawan infestasi cacing Ascaris sp, Enterobius dan semua jenis cacing paru-paru. Keuntungan lain dari bawang putih adalah adanya kandungan antibiotika alami yang sangat aman dan tidak meninggalkan residu di sapi, antibiotika ini akan berperan sebagai ”growth promotor” pada laju pertumbuhan sapi.
Pada pengobatan sapi-sapi muda penggunaan bawang putih sangat disarankan karena tidak pernah ditemukan efek samping yang merugikan.
Kemudian Biji Buah Pepaya. Biji buah pepaya (Carica papaya) terbukti dapat digunakan sebagai obat cacing yang sangat efektif, terutama untuk infestasi Ascaris sp. Getah pohon pepaya juga memiliki efektivitas yang sama, tetapi secara tehnis penggunaan biji buah akan jauh lebih mudah .
Menurut Drh Johan Purnama MSc, Kelompok tani Amanah adalah salah satu lokasi implementasi medikasi etno-veteriner pada ternak, kelompok ini mendapatkan gelar sebagai kelompok petani ternak terbaik di tingkat propinsi NTB hingga belasan kali, diharapkan dengan melakukan implementasi medikasi etno-veteriner pada kelompok ini akan menjadi contoh dan teladan bagi kelompok tani lain di NTB.
“Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, di mana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak,” tutur Johan.
Hal positif lain yang didapatkan adalah bahwa petani menjadi semakin aktif belajar dalam usaha mencari alternatif obat untuk tujuan ekonomis. Rata-rata peningkatan populasi ternak untuk kelompok tani SPFS-Indonesia mencapai 87 % per tahun, dengan hambatan utama timbulnya penyakit-penyakit akibat sanitasi yang kurang baik karena kekurangan sumber air.
Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan rutin dengan perbaikan sanitasi secara optimal dan pemberian obat-obatan herbal diharapkan akan meningkatkan performa produksi ternak kelompok tani di Indonesia.
Berbeda-beda tetapi tetap satu juga? Kiranya begitu. Banyak jalan menuju Roma, banyak obat melawan penyakit parasit, demi kesehatan ternak kita. (Daman Suska, iyo, YR/ berbagai sumber)