Infovet
PERAN OBAT HEWAN DALAM KEAMANAN PRODUK TERNAK
(( Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan juga harus mengikuti petunjuk yang ada. ))
Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu keharusan agar produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan.
Dari pengamatan di lapang, pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur cenderung berlebihan tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar. Penggunaan obat hewan yang kurang tepat ini kemungkinan berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan, di mana 33,30% peternak ayam petelur skala kecil dan 30,80% peternak broiler skala kecil yang tidak mempunyai dokter hewan, mendapat obat langsung dari distributor atau importir, sehingga dikhawatirkan penggunaan obat-obatan tersebut tidak mengikuti aturan yang.
Seharusnya hanya peternak besar yang memiliki tenaga dokter hewan yang boleh berhubungan langsung dengan distributor atau importir obat. Selain itu, peternak sering kurang memahami waktu henti (withdrawaltime) suatu obat hewan sehingga meng-akibatkan munculnya residu pada produk ternak.
Waktu henti adalah kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi.Walaupun peternak mengetahui adanya waktu henti obat, sebagian dari mereka tidak mematuhinya. Sekitar 50% penyimpangan residu obat pada produk ternak disebabkan tidak dipatuhinya waktu henti pemberian obat.
Sejumlah 15,60% peternak di Australia tidak mematuhi ketentuan waktu henti obat, sedangkan di Indonesia hanya 8,16% peternak sapi perah yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu segar ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan
Pemakaian obat yang dilakukan oleh peternak sendiri telah menyebabkan penyimpangan residu obat pada produk ternak sebesar 63−65%. Keadaan ini kemungkinan besar berkaitan dengandosis dan waktu henti obat yang tidak diikuti. Di Australia, sekitar 35,40% pemakaian obat antimikroba tidak di-lakukan secara tepat.
Kesalahan semacam ini kemungkinan juga terjadi di Indonesia dengan persentase yang jauh lebih tinggi. Hanya 20% peternak sapi perah di Jawa Barat mengetahui jenisobat yang digunakan oleh petugas Dinas Peternakan atau koperasi. Dari 20% tersebut hanya 14,28% peternak yang mengetahui adanya waktu henti obat, sedangkan yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan hanya 8,16%.
Waktu henti obat hewan sangat bervariasi, bergantung pada: 1) jenis obat, 2) spesies hewan, 3) faktor genetik ternak, 4) iklim setempat, 5) cara pemberian, 6) dosis obat, 7) status kesehatan hewan, 8) produk ternak yang dihasilkan, 9) batas toleransi residu obat, dan 10) formulasi obat. Oleh karena itu, sudah sewajarnya setiap perusahaan yang memproduksi obat hewan mencantumkan keterangan secara jelas tentang waktu henti pemberian obat. Waktu henti pemberian obat hewan yang tidak dipatuhi menyebabkan terjadinya residu obat hewan pada produk ternak
Persentase kejadian cemaran antibiotik pada susu cukup tinggi (lebih dari 50%), dan jenis antibiotik yang paling sering mencemari susu adalah golongan penisilin dan tetrasiklin. Adanya cemaran kloramfenikol pada susu, pada-hal obat tersebut dilarang digunakan pada hewan.
Daging dan hati ayam banyak pula yang tercemar residu antibiotik terutama golongan penisilin dan tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding pada daging, Pada daging dan hati sapi juga dijumpairesidu antibiotik dan hormon.Residu antibiotik pada susu diperkirakan sebagai akibat pengobatan terhadap penyakit mastitis, karena prevalensi mastitis subklinis di Indonesia sangat tinggi yaitu 87,10%.
Keadaan ini diperkuat bahwa cukup banyak peternak sapi perah yang mengobati ternaknya sendiri, sedangkan peternak yang memahami waktu henti obat sangat sedikit. Kandungan residu obat yang me-lewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan akan menyebabkan daging dan susu tersebut tidak aman dikonsumsi karena dapat menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau mengakibatkan gangguan fisiologis pada manusia.
Hasil survei di Amerika menunjukkan sekitar 77 % responden mengkhawatirkan masalah residu obat-obatan (terutama golongan antibiotik) pada daging ternak. Beberap akasus gangguan terhadap resistensi bakteri Campylobacter yang berkaitan dengan masalah residu antibiotik di Amerika Serikat juga dilaporkan.
Penilaian terhadap daging, susu, dan telur bergantung pada kadar dan jenisresidu yang ditemukan pada produktersebut. Produk asal ternak yang mengandung residu obat di atas BMR sebaiknya tidak dikonsumsi apalagi diekspor.
Namun, pada kenyataannya residu obat hewan pada daging dan telur ayam banyak yang di atas BMR.
Pencegahan Dan Penanggulangan
Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan juga harus mengikuti petunjuk yang ada. Penggunaan pestisida dan bahan kimia lain untuk sanitasi lingkungan (kandang) juga harus hati-hati agar tidak mengkontaminasi pakan atau sumber air minum. (YR/Balitvet)
PERAN OBAT HEWAN DALAM KEAMANAN PRODUK TERNAK
(( Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan juga harus mengikuti petunjuk yang ada. ))
Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu keharusan agar produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan.
Dari pengamatan di lapang, pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur cenderung berlebihan tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar. Penggunaan obat hewan yang kurang tepat ini kemungkinan berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan, di mana 33,30% peternak ayam petelur skala kecil dan 30,80% peternak broiler skala kecil yang tidak mempunyai dokter hewan, mendapat obat langsung dari distributor atau importir, sehingga dikhawatirkan penggunaan obat-obatan tersebut tidak mengikuti aturan yang.
Seharusnya hanya peternak besar yang memiliki tenaga dokter hewan yang boleh berhubungan langsung dengan distributor atau importir obat. Selain itu, peternak sering kurang memahami waktu henti (withdrawaltime) suatu obat hewan sehingga meng-akibatkan munculnya residu pada produk ternak.
Waktu henti adalah kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi.Walaupun peternak mengetahui adanya waktu henti obat, sebagian dari mereka tidak mematuhinya. Sekitar 50% penyimpangan residu obat pada produk ternak disebabkan tidak dipatuhinya waktu henti pemberian obat.
Sejumlah 15,60% peternak di Australia tidak mematuhi ketentuan waktu henti obat, sedangkan di Indonesia hanya 8,16% peternak sapi perah yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu segar ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan
Pemakaian obat yang dilakukan oleh peternak sendiri telah menyebabkan penyimpangan residu obat pada produk ternak sebesar 63−65%. Keadaan ini kemungkinan besar berkaitan dengandosis dan waktu henti obat yang tidak diikuti. Di Australia, sekitar 35,40% pemakaian obat antimikroba tidak di-lakukan secara tepat.
Kesalahan semacam ini kemungkinan juga terjadi di Indonesia dengan persentase yang jauh lebih tinggi. Hanya 20% peternak sapi perah di Jawa Barat mengetahui jenisobat yang digunakan oleh petugas Dinas Peternakan atau koperasi. Dari 20% tersebut hanya 14,28% peternak yang mengetahui adanya waktu henti obat, sedangkan yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan hanya 8,16%.
Waktu henti obat hewan sangat bervariasi, bergantung pada: 1) jenis obat, 2) spesies hewan, 3) faktor genetik ternak, 4) iklim setempat, 5) cara pemberian, 6) dosis obat, 7) status kesehatan hewan, 8) produk ternak yang dihasilkan, 9) batas toleransi residu obat, dan 10) formulasi obat. Oleh karena itu, sudah sewajarnya setiap perusahaan yang memproduksi obat hewan mencantumkan keterangan secara jelas tentang waktu henti pemberian obat. Waktu henti pemberian obat hewan yang tidak dipatuhi menyebabkan terjadinya residu obat hewan pada produk ternak
Persentase kejadian cemaran antibiotik pada susu cukup tinggi (lebih dari 50%), dan jenis antibiotik yang paling sering mencemari susu adalah golongan penisilin dan tetrasiklin. Adanya cemaran kloramfenikol pada susu, pada-hal obat tersebut dilarang digunakan pada hewan.
Daging dan hati ayam banyak pula yang tercemar residu antibiotik terutama golongan penisilin dan tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding pada daging, Pada daging dan hati sapi juga dijumpairesidu antibiotik dan hormon.Residu antibiotik pada susu diperkirakan sebagai akibat pengobatan terhadap penyakit mastitis, karena prevalensi mastitis subklinis di Indonesia sangat tinggi yaitu 87,10%.
Keadaan ini diperkuat bahwa cukup banyak peternak sapi perah yang mengobati ternaknya sendiri, sedangkan peternak yang memahami waktu henti obat sangat sedikit. Kandungan residu obat yang me-lewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan akan menyebabkan daging dan susu tersebut tidak aman dikonsumsi karena dapat menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau mengakibatkan gangguan fisiologis pada manusia.
Hasil survei di Amerika menunjukkan sekitar 77 % responden mengkhawatirkan masalah residu obat-obatan (terutama golongan antibiotik) pada daging ternak. Beberap akasus gangguan terhadap resistensi bakteri Campylobacter yang berkaitan dengan masalah residu antibiotik di Amerika Serikat juga dilaporkan.
Penilaian terhadap daging, susu, dan telur bergantung pada kadar dan jenisresidu yang ditemukan pada produktersebut. Produk asal ternak yang mengandung residu obat di atas BMR sebaiknya tidak dikonsumsi apalagi diekspor.
Namun, pada kenyataannya residu obat hewan pada daging dan telur ayam banyak yang di atas BMR.
Pencegahan Dan Penanggulangan
Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan juga harus mengikuti petunjuk yang ada. Penggunaan pestisida dan bahan kimia lain untuk sanitasi lingkungan (kandang) juga harus hati-hati agar tidak mengkontaminasi pakan atau sumber air minum. (YR/Balitvet)