Infovet
KEMBALI KE... BIOSECURITY!
Sebagaimana umumnya, masyarakat peternakan berpendapat biosecurity sangatlah penting. Lebih-lebih saat merebaknya kasus Avian Influenza yang luar biasa, biosecurity menjadi primadona dan di mana-mana menjadi sangat diperhatikan secara ketat.
Namun sayangnya, sesal Drh Roeslan Isdiyanto dari PT Agro Makmur, “Bangsa ini merupakan bangsa pelupa, melakukan biosecurity yang bagus pada saat ada ancaman. Namun begitu ancaman berlalu, perilakunya kembali seperti semula.”
Padahal, menurutnya, sarana dan prasarana menjadi efektif atau tidak tergantung tingkat biosecurity. “Efektivitasnya tergantung tantangan di lapangan dan dipengaruhi kualitas biosecurity,” tegas Drh Roeslan.
Berbicara tentang biosecurity, Drh Ratriastuti dari PT Primatama Karya Persada Divisi Layer mengatakan, ingatan kita biasanya langsung lari kepada desinfeksi, sanitasi di kandang/farm dan ragam jenis desinfektan. Seringkali kita terpaku dan terjebak hanya pada tataran ini saja, yaitu proses semprot menyemprot desinfektan, pemusnahan rodensia dan vektor lain. Sesungguhnya masih ada hal pokok lain yg harus kita pikirkan. Desinfeksi dan sanitasi hanya merupakan salah satu bagian saja dari konsep biosecurity.
3 Tingkatan Biosecurity
Lebih jauh, lanjut Drh Ratri, biosecurity/keamanan biologik merupakan sebuah program komprehensif, meliputi sebuah hierarki yang terdiri dari 3 tingkatan penting yang tidak bisa dipisahkan, yang harus dilakukan untuk mencegah masuknya agen patogen dan penyebaran penyakit di kandang/peternakan.
Untuk pelaksanaannya di lapangan, proses ini memerlukan pendekatan yang terstruktur, yaitu perencanaan usaha, pemilihan lokasi sumber daya, pelaksanaan di lapangan, pengendalian serta pengawasannya.
Pada dasarnya, tuturnya, konsep biosecurity berbagai macam peternakan sama, yaitu terdiri dari 3 tingkatan itu, yaitu:
1. Tingkat I (Biosecurity Konseptual)
Ini merupakan dasar dari biosecurity. Pada tataran ini meliputi aspek pemilihan lokasi usaha petrenakan di suatu daerah yang bertujuan untuk memisahkan jenis atau umur unggas yang sama, sehingga akan menghindari kontak hewan yang kita piara dengan hewan liar/hewan lain.
Selain itu penempatan lokasi peternakan yang tidak jauh dari jalan umum dan fasilitas pelayanan lain seperti kalau peternakan ayam, dekat dengan penetasan telur, pabrik pakan, dan RPA (Rumah Potong Ayam). Lokasi sebaiknya jauh dari danau atau saluran air dan juga perlintasan migrasi burung-burung liar.
Dalam pemilihannya kita juga harus memikirkan implikasi pemeliharaan hewan yang umurnya tidak sama. Ini untuk menghindari rolling infection dari hewan tua ke hewan muda atau sebaliknya.
2. Tingkat II (Biosecurity Struktural)
Pada tingkatan ini berhubungan dengan tata letak peternakan. Ini menyangkut beberapa hal, di antaranya:
- Pemagaran kawasan peternakan agar tidak dilintasi oleh orang dari luar.
- Pemagaran areal kandang dengan pintu pengaman untuk meminimalisir masuknya hewan lain dan berpindahnya/melintasnya operator ke kandang lain.
- Ketersediaan air bersih dan bebas agen patogen, dan adanya treatment terhadap air yang akan dikonsumsi (dengan klorin, peroksida atau lainnya)
- Adanya fasilitas pelayanan perusahaan yang memadai seperti kantor, gudang (pakan, obat, dan peralatan), kamar ganti pakaian dan kamar mandi.
- Adanya supali air dan listrik yang cukup dan tempat yang representatif untuk desinfeksi kendaraan yang keluar masuk lokasi farm. (adanya car dip dan sprayer di pintu gerbang masuk farm)
- Adanya jalan yg baik, aman dan dipagari untuk memudahkan pembersihan dan pencegahan penyebaran penyakit.
- Adanya tempat khusus untukpemusnahan bangkai (disposal pit)
- Lokasi yang aman untuk tempat pakan, peralatan, litter di tempat yang terpisah dari kandang untuk mencegah kontaminasi.
3. Tingkat III (Biosecurity Operasional)
Tataran ini merupakan prosedur manajemen dan kegiatan/rutinitas untuk mencegah kejadian dan penyebaran penyakit di suatu farm (termasuk di antaranya proses pembersihan, desinfeksi dan sanitasi kandang/farm).
Dari ketiga tingkatan level ini yang paling fleksibel dan bisa diubah sewaktu-waktu disesuaikan dengan kondisi pada saat itu. Pada tingkatan ini harus ada petunjuk operasional yang jelas tentang:
- Prosedur rutin yang harus dilakukan dan disertai perencanaan jika ada hal-hal tak terduga seperti wabah penyakit, dan lain-lain dan disiapkan untuk setiap jenjang manajemen dari manajer, supervisor, operator dan tamu.
- Prosedur standar harus diarahkan untuk pelaksnaan dekontaminasi, desinfeksi setelah kandang kosong; juga penyimpanan, pencampuran dan aplikasi pemberian vaksin dengan berbagai cara pemberian yang berbeda.
- Prosedur khusus yang diterapkan pada saat memasuki dan meninggalkan farm untuk setiap karyawan dan tamu.
- Pengawasan yang ketat diperlukan untuk mencegah kontak dengan hewan lain (unggas eksotik, ayam kampung) untuk farm ayam.
Dengan menerapkan 3 tingkatan biosecurity tersebut secara baik dan benar diharapkan akan mencegah dan meinimalisir masuknya agen patogen dan penyebaran penyakit dari luar lokasi usaha ke ternak kita.
Biosecurity Sektor 1, 2, 3 dan 4
Drh Wahyu Suhadji Direktur PT Rajawali Utama Biosecurity mengungkapkan peternakan sektor 1 (peternakan besar/pembibitan), 2 (peternakan skala menengah), 3 (peternakan skala kecil), mempunyai biosecurity yang relatif mantap. Sebab, hidupnya peternakan sektor ini memang dari keamanan hayati ini. “Ibaratnya, biosecurity ini memang piring dari peternakan dan kehidupannya, sehingga kalangan ini bersikap lebih all out (habis-habisan) dalam menerapkan biosecurity,” tuturnya.
Namun sebaliknya, pemeliharaan ternak di sektor 4 (di belakang/pekarangan rumah) jadi biang keladi penyebaran penyakit, dengan perilaku biosecurity asal-asalan. Bahkan menurutnya, kandungan zat-zat yang dipakai untuk tindakan biosecurity tidak diketahui dan tidak jelas kualitasnya.
Sehingga: “Pelaksanaan biosecurity di sektor 4 tidak bisa diandalkan, karena pelaksananya lebih mengejar proyek,” kritik Wahyu Suhadji seraya menambahkan dari paradigma dokter hewan, tindakan biosecurity mereka tidak memenuhi syarat.
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perunggasan Sulawesi Selatan ini mengungkapkan dengan adanya kasus AI, semua ada hikmahnya, terutama untuk meningkatkan kebersihan dan kewaspadaan.
Namun menurut Wahyu Suhadji biosecurity dipengaruhi oleh keadaan produksi. “Bagaimana biosecurity bisa optimal bila hasil produksinya rugi,” katanya seraya memberikan contoh kondisi di Sulawesi Selatan yang harga produksi peternakan terpuruk.
Ceritanya, harga telur nasional yang mencapai lebih dari Rp 10.000 per kilogram tidak mencerminkan harga baik bagi Sulawesi Selatan yang hanya mencapai 9300 per kilogram.
Sementara di tingkat pemasok, harga tempat lain menyentuh Rp 8500 per kilogram, di Sulawesi Selatan masih Rp 8000 per kilogram. “Padahal titik impas balik modal di Sulawesi Selatan lebih tinggi dibanding daerah lain,” resah Wahyu Suhadji.
Menurutnya, pengelolaan biosecurity pada peternakan sektor 3 pun terkesan asal-asalan dan dipengaruhi harga. Bilamana harga turun sehingga pemasukan pun turun, maka pemberian biosecurity pun melemah.
Apalagi sektor 4, pelaksanaan biosecurity lebih tidak fokus. Juga dalam hal vaksinasi yang menurutnya relatif menyalahi prinsip-prinsip kesehatan hewan.
Tergantung jumlah ayam yang sedikit di sektor 4, vaksinasi yang menggunaan sediaan vaksin yang mestinya digunakan untuk kurang lebih 200 dosis, pemilik ternak hanya membutuhkan menerapkan 10, 5, bahkan 2 dosis saja. Oleh karena tingkat mobilitas vaksinator, pelaksanaan vaksinasi pun menjadi tidak steril.
Lanjutnya, pelaksanaan biosecurity pada sektor 1, 2 dan 3 cenderung sama. Terkendalinya apapun dan siapapun yang masuk dan keluar kandang dan lokasi peternakan tergantung pada tingkat biosecurity yang lebih ketat.
Dilihat dari derajadnya, penerapan biosecurity pada peternakan 1 dan 2 hampir sama. Pernah berkunjung ke peternakan sektor 1 dan 2 bersama dokter ahli paru, dokter manusia itu terkesan dengan ketatnya perlakuan biosecuritynya yang lebih ketat dibanding biosecurity di rumah sakit.
Kalau di rumah sakit untuk manusia, pemakaian baju laboratorium hanya dilakukan saat operasi. Sedangkan pada peternakan sektor 1 dan 2 baju laboratorium pun dikenakan dengan terlebih dulu mandi dengan desinfektan, pencelupan berdesinfektan, sepatu kandang yang steril dan lain-lain. Pengambilan kebijakan superketat semacam ini sangat baik.
Sektor 3 masih sudah melibatkan peternakan sektor kemitraan. Sedangkan sektor 4 melibatkan perkampungan dengan kandang ayam di dalam kampung. Masalah burung liar sangat mempengaruhi kondisi biosecurity-nya.
Peternakan sektor 1, 2 dan 3 umumnya adalah peternakan kemitraan atau terintegrasi. Kebutuhan obat dipenuhi oleh korporasi atau perusahaan integrasi masing-masing. Sehingga menurut Drh Wahyu Suhadji, di luar kemitraan obat hewan relatif sulit masuk.
Sementara di luar, pada pasar perdagangan obat hewan di kalangan peternak, banyak beredar obat-obat liar tanpa registrasi dan lain-lain syarat yang tidak dipenuhi. Pelakunya kebanyakan bukan anggota ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia).
Dengan situasi yang mengkhawatirkan ini, Drh Wahyu Suhadji yang juga Pengurus ASOHI Daerah Sulawesi Selatan memberi masukan kepada ASOHI Nasional supaya lebih intensif dalam membantu dan mempedulikan permasalahan yang muncul di lapangan ini.
Dalam kaca matanya, saat ini peternak sudah jadi buruh di kandang semdiri. Sedangkan peternakan sistem kemitraan bagi sebagian peternak lebih berkonotasi berbagi resiko.
Sektor 1, 2, 3 dan 4 Agak Beda
Drh Suhardi, Manajer Produk PT Sanbe Farma Bandung mengungkapkan penekanan biosecurity pada peternakan sektor 1, 2, 3 dan 4 agak beda. Menurutnya pada sektor 1, pihak luar termasuk petugas pelaksana teknis dari perusahaan obat hewan tak bisa ikut campur. Karena, ke dalam peternakan, penanganannya lebih baik, siapapun yang masuk selalu harus disemprot dan seterusnya.
Pada sektor 2, biosecurity yang ketat masih dijalankan peternak-peternak besar. Peternak kecil hingga menengah ada yang menjalankan ada yang tidak. Menurun berbeda dengan kondisi tahun 2004 saat ada wabah AI.
Apalagi sektor 3, peternakan kecil dengan populasi ayam 1000-2000 ekor, tidak menjalankan biosecurity sebagaimana lazimnya di mana orang yang masuk peternakan disemprot dan lain-lain.
Biosecurity pada peternakan sektor 4 tergantung tindakan penduduk dan publik awam yang mengetahui dan sadar biosecurity.
Dalam rangka pendidikan berkesinambungan Drh Suhardi mengaku perusahaannya aktif melakukan penyuluhan peternakan tentang pentingnya biosecurity terhadap semua penyakit bakteri, virus, jamur, parasit, dan lain-lain. Baginya, biosecurity bukan hanya antisipasi, namun merupakan ujung pangkal dari semua.
Dengan biosecurity, di kandang/area peternakan dicegah jangan sampai ada banyak kutu, sebab kutu dapat mengundang burung. Termasuki untuk itulah, kita menjaga kebersihan kandang.
Berkiblatlah pada Biosecurity Sektor I
Menurut Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra, pada peternakan sektor 1, peternakan pembibitan/skala besar, biosecurity diterapkan sungguh luar biasa ketat. Siapa yang masuk kandang harus mandi dulu. Masuk lebih ke dalam, mandi lagi.
Namun begitu, meskipun sudah diterapkan sistem closed house, dilakukan desinfeksi,dan berbagai tindakan biosecurity lain, bibit penyakit masih bisa tembus, hal ini menimbulkan pertanyaan letak kesalahannya di mana.
Untuk mengetahui jawabnya, bukan hal yang mudah, apakah karena faktor desinfektan kurang kuat atau terdapatnya celah yang bolong.
Untuk manajemen yang baik, harus konsisten bila ada orang masuk harus disemprot. Jangan kendorkan sanitasi dan biosecurity, minimal pola pada sektor-sektor 2, 3, dan 4 mengikuti pola sektor 1. Syukur-syukur ada pakaian ganti. Dan, teknisi obat hewan merupakan salah satu sumber penularan.Intinya, kuncinya tetap di manajemen. Di dalamnya termasuk mencegah orang kandang keluar masuk tanpa desinfeksi. Harus diingat, pemberian pakan pun jangan sampai tumpah. Sanitasi dan desinfeksi pada sektor 2, 3 dan 4 mesti berkiblat pada sektor 1.
Soal biosecurity terkait ini, bagi Drh Andi merupakan hal sangat penting. Menurutnya, banyak kasus AI yang pihak-pihak tidak mau mengungkap. Pertimbangannya kompleks, dan untuk kesahihan pelaporan membutuhkan ahli dan alat uji. Sehingga kalangan peternakan jelas dalam menyikapi pencampuran virus yang mungkin sudah berubah dan lain-lain kondisi dimana banyak terjadi penyelundupan misal penyelundupan ayam dan bebek dari Malaysia, Brasil yang sudah terbongkar. Supaya, kondisi peternakan ada vaksinasi dan sanitasi peternak membaik.
Kini, angka kematian unggas memang tidak sederas tahun 2003. Namun dengan gejala-gejala yang terungkap oleh beberapa praktisi di artikel terdahulu peternak tetap merasa itu AI. Bahkan Madiun yang dulu kasusnya sepi, sekarang AI-nya positif dengan gejala yang tidak jelas. Jangan dimusnahkan.
Dengan demikian makin jelas benang merah antara Biosecurity dengan AI. Kita pun mesti gagah menghadapi. (YR)
KEMBALI KE... BIOSECURITY!
Sebagaimana umumnya, masyarakat peternakan berpendapat biosecurity sangatlah penting. Lebih-lebih saat merebaknya kasus Avian Influenza yang luar biasa, biosecurity menjadi primadona dan di mana-mana menjadi sangat diperhatikan secara ketat.
Namun sayangnya, sesal Drh Roeslan Isdiyanto dari PT Agro Makmur, “Bangsa ini merupakan bangsa pelupa, melakukan biosecurity yang bagus pada saat ada ancaman. Namun begitu ancaman berlalu, perilakunya kembali seperti semula.”
Padahal, menurutnya, sarana dan prasarana menjadi efektif atau tidak tergantung tingkat biosecurity. “Efektivitasnya tergantung tantangan di lapangan dan dipengaruhi kualitas biosecurity,” tegas Drh Roeslan.
Berbicara tentang biosecurity, Drh Ratriastuti dari PT Primatama Karya Persada Divisi Layer mengatakan, ingatan kita biasanya langsung lari kepada desinfeksi, sanitasi di kandang/farm dan ragam jenis desinfektan. Seringkali kita terpaku dan terjebak hanya pada tataran ini saja, yaitu proses semprot menyemprot desinfektan, pemusnahan rodensia dan vektor lain. Sesungguhnya masih ada hal pokok lain yg harus kita pikirkan. Desinfeksi dan sanitasi hanya merupakan salah satu bagian saja dari konsep biosecurity.
3 Tingkatan Biosecurity
Lebih jauh, lanjut Drh Ratri, biosecurity/keamanan biologik merupakan sebuah program komprehensif, meliputi sebuah hierarki yang terdiri dari 3 tingkatan penting yang tidak bisa dipisahkan, yang harus dilakukan untuk mencegah masuknya agen patogen dan penyebaran penyakit di kandang/peternakan.
Untuk pelaksanaannya di lapangan, proses ini memerlukan pendekatan yang terstruktur, yaitu perencanaan usaha, pemilihan lokasi sumber daya, pelaksanaan di lapangan, pengendalian serta pengawasannya.
Pada dasarnya, tuturnya, konsep biosecurity berbagai macam peternakan sama, yaitu terdiri dari 3 tingkatan itu, yaitu:
1. Tingkat I (Biosecurity Konseptual)
Ini merupakan dasar dari biosecurity. Pada tataran ini meliputi aspek pemilihan lokasi usaha petrenakan di suatu daerah yang bertujuan untuk memisahkan jenis atau umur unggas yang sama, sehingga akan menghindari kontak hewan yang kita piara dengan hewan liar/hewan lain.
Selain itu penempatan lokasi peternakan yang tidak jauh dari jalan umum dan fasilitas pelayanan lain seperti kalau peternakan ayam, dekat dengan penetasan telur, pabrik pakan, dan RPA (Rumah Potong Ayam). Lokasi sebaiknya jauh dari danau atau saluran air dan juga perlintasan migrasi burung-burung liar.
Dalam pemilihannya kita juga harus memikirkan implikasi pemeliharaan hewan yang umurnya tidak sama. Ini untuk menghindari rolling infection dari hewan tua ke hewan muda atau sebaliknya.
2. Tingkat II (Biosecurity Struktural)
Pada tingkatan ini berhubungan dengan tata letak peternakan. Ini menyangkut beberapa hal, di antaranya:
- Pemagaran kawasan peternakan agar tidak dilintasi oleh orang dari luar.
- Pemagaran areal kandang dengan pintu pengaman untuk meminimalisir masuknya hewan lain dan berpindahnya/melintasnya operator ke kandang lain.
- Ketersediaan air bersih dan bebas agen patogen, dan adanya treatment terhadap air yang akan dikonsumsi (dengan klorin, peroksida atau lainnya)
- Adanya fasilitas pelayanan perusahaan yang memadai seperti kantor, gudang (pakan, obat, dan peralatan), kamar ganti pakaian dan kamar mandi.
- Adanya supali air dan listrik yang cukup dan tempat yang representatif untuk desinfeksi kendaraan yang keluar masuk lokasi farm. (adanya car dip dan sprayer di pintu gerbang masuk farm)
- Adanya jalan yg baik, aman dan dipagari untuk memudahkan pembersihan dan pencegahan penyebaran penyakit.
- Adanya tempat khusus untukpemusnahan bangkai (disposal pit)
- Lokasi yang aman untuk tempat pakan, peralatan, litter di tempat yang terpisah dari kandang untuk mencegah kontaminasi.
3. Tingkat III (Biosecurity Operasional)
Tataran ini merupakan prosedur manajemen dan kegiatan/rutinitas untuk mencegah kejadian dan penyebaran penyakit di suatu farm (termasuk di antaranya proses pembersihan, desinfeksi dan sanitasi kandang/farm).
Dari ketiga tingkatan level ini yang paling fleksibel dan bisa diubah sewaktu-waktu disesuaikan dengan kondisi pada saat itu. Pada tingkatan ini harus ada petunjuk operasional yang jelas tentang:
- Prosedur rutin yang harus dilakukan dan disertai perencanaan jika ada hal-hal tak terduga seperti wabah penyakit, dan lain-lain dan disiapkan untuk setiap jenjang manajemen dari manajer, supervisor, operator dan tamu.
- Prosedur standar harus diarahkan untuk pelaksnaan dekontaminasi, desinfeksi setelah kandang kosong; juga penyimpanan, pencampuran dan aplikasi pemberian vaksin dengan berbagai cara pemberian yang berbeda.
- Prosedur khusus yang diterapkan pada saat memasuki dan meninggalkan farm untuk setiap karyawan dan tamu.
- Pengawasan yang ketat diperlukan untuk mencegah kontak dengan hewan lain (unggas eksotik, ayam kampung) untuk farm ayam.
Dengan menerapkan 3 tingkatan biosecurity tersebut secara baik dan benar diharapkan akan mencegah dan meinimalisir masuknya agen patogen dan penyebaran penyakit dari luar lokasi usaha ke ternak kita.
Biosecurity Sektor 1, 2, 3 dan 4
Drh Wahyu Suhadji Direktur PT Rajawali Utama Biosecurity mengungkapkan peternakan sektor 1 (peternakan besar/pembibitan), 2 (peternakan skala menengah), 3 (peternakan skala kecil), mempunyai biosecurity yang relatif mantap. Sebab, hidupnya peternakan sektor ini memang dari keamanan hayati ini. “Ibaratnya, biosecurity ini memang piring dari peternakan dan kehidupannya, sehingga kalangan ini bersikap lebih all out (habis-habisan) dalam menerapkan biosecurity,” tuturnya.
Namun sebaliknya, pemeliharaan ternak di sektor 4 (di belakang/pekarangan rumah) jadi biang keladi penyebaran penyakit, dengan perilaku biosecurity asal-asalan. Bahkan menurutnya, kandungan zat-zat yang dipakai untuk tindakan biosecurity tidak diketahui dan tidak jelas kualitasnya.
Sehingga: “Pelaksanaan biosecurity di sektor 4 tidak bisa diandalkan, karena pelaksananya lebih mengejar proyek,” kritik Wahyu Suhadji seraya menambahkan dari paradigma dokter hewan, tindakan biosecurity mereka tidak memenuhi syarat.
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perunggasan Sulawesi Selatan ini mengungkapkan dengan adanya kasus AI, semua ada hikmahnya, terutama untuk meningkatkan kebersihan dan kewaspadaan.
Namun menurut Wahyu Suhadji biosecurity dipengaruhi oleh keadaan produksi. “Bagaimana biosecurity bisa optimal bila hasil produksinya rugi,” katanya seraya memberikan contoh kondisi di Sulawesi Selatan yang harga produksi peternakan terpuruk.
Ceritanya, harga telur nasional yang mencapai lebih dari Rp 10.000 per kilogram tidak mencerminkan harga baik bagi Sulawesi Selatan yang hanya mencapai 9300 per kilogram.
Sementara di tingkat pemasok, harga tempat lain menyentuh Rp 8500 per kilogram, di Sulawesi Selatan masih Rp 8000 per kilogram. “Padahal titik impas balik modal di Sulawesi Selatan lebih tinggi dibanding daerah lain,” resah Wahyu Suhadji.
Menurutnya, pengelolaan biosecurity pada peternakan sektor 3 pun terkesan asal-asalan dan dipengaruhi harga. Bilamana harga turun sehingga pemasukan pun turun, maka pemberian biosecurity pun melemah.
Apalagi sektor 4, pelaksanaan biosecurity lebih tidak fokus. Juga dalam hal vaksinasi yang menurutnya relatif menyalahi prinsip-prinsip kesehatan hewan.
Tergantung jumlah ayam yang sedikit di sektor 4, vaksinasi yang menggunaan sediaan vaksin yang mestinya digunakan untuk kurang lebih 200 dosis, pemilik ternak hanya membutuhkan menerapkan 10, 5, bahkan 2 dosis saja. Oleh karena tingkat mobilitas vaksinator, pelaksanaan vaksinasi pun menjadi tidak steril.
Lanjutnya, pelaksanaan biosecurity pada sektor 1, 2 dan 3 cenderung sama. Terkendalinya apapun dan siapapun yang masuk dan keluar kandang dan lokasi peternakan tergantung pada tingkat biosecurity yang lebih ketat.
Dilihat dari derajadnya, penerapan biosecurity pada peternakan 1 dan 2 hampir sama. Pernah berkunjung ke peternakan sektor 1 dan 2 bersama dokter ahli paru, dokter manusia itu terkesan dengan ketatnya perlakuan biosecuritynya yang lebih ketat dibanding biosecurity di rumah sakit.
Kalau di rumah sakit untuk manusia, pemakaian baju laboratorium hanya dilakukan saat operasi. Sedangkan pada peternakan sektor 1 dan 2 baju laboratorium pun dikenakan dengan terlebih dulu mandi dengan desinfektan, pencelupan berdesinfektan, sepatu kandang yang steril dan lain-lain. Pengambilan kebijakan superketat semacam ini sangat baik.
Sektor 3 masih sudah melibatkan peternakan sektor kemitraan. Sedangkan sektor 4 melibatkan perkampungan dengan kandang ayam di dalam kampung. Masalah burung liar sangat mempengaruhi kondisi biosecurity-nya.
Peternakan sektor 1, 2 dan 3 umumnya adalah peternakan kemitraan atau terintegrasi. Kebutuhan obat dipenuhi oleh korporasi atau perusahaan integrasi masing-masing. Sehingga menurut Drh Wahyu Suhadji, di luar kemitraan obat hewan relatif sulit masuk.
Sementara di luar, pada pasar perdagangan obat hewan di kalangan peternak, banyak beredar obat-obat liar tanpa registrasi dan lain-lain syarat yang tidak dipenuhi. Pelakunya kebanyakan bukan anggota ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia).
Dengan situasi yang mengkhawatirkan ini, Drh Wahyu Suhadji yang juga Pengurus ASOHI Daerah Sulawesi Selatan memberi masukan kepada ASOHI Nasional supaya lebih intensif dalam membantu dan mempedulikan permasalahan yang muncul di lapangan ini.
Dalam kaca matanya, saat ini peternak sudah jadi buruh di kandang semdiri. Sedangkan peternakan sistem kemitraan bagi sebagian peternak lebih berkonotasi berbagi resiko.
Sektor 1, 2, 3 dan 4 Agak Beda
Drh Suhardi, Manajer Produk PT Sanbe Farma Bandung mengungkapkan penekanan biosecurity pada peternakan sektor 1, 2, 3 dan 4 agak beda. Menurutnya pada sektor 1, pihak luar termasuk petugas pelaksana teknis dari perusahaan obat hewan tak bisa ikut campur. Karena, ke dalam peternakan, penanganannya lebih baik, siapapun yang masuk selalu harus disemprot dan seterusnya.
Pada sektor 2, biosecurity yang ketat masih dijalankan peternak-peternak besar. Peternak kecil hingga menengah ada yang menjalankan ada yang tidak. Menurun berbeda dengan kondisi tahun 2004 saat ada wabah AI.
Apalagi sektor 3, peternakan kecil dengan populasi ayam 1000-2000 ekor, tidak menjalankan biosecurity sebagaimana lazimnya di mana orang yang masuk peternakan disemprot dan lain-lain.
Biosecurity pada peternakan sektor 4 tergantung tindakan penduduk dan publik awam yang mengetahui dan sadar biosecurity.
Dalam rangka pendidikan berkesinambungan Drh Suhardi mengaku perusahaannya aktif melakukan penyuluhan peternakan tentang pentingnya biosecurity terhadap semua penyakit bakteri, virus, jamur, parasit, dan lain-lain. Baginya, biosecurity bukan hanya antisipasi, namun merupakan ujung pangkal dari semua.
Dengan biosecurity, di kandang/area peternakan dicegah jangan sampai ada banyak kutu, sebab kutu dapat mengundang burung. Termasuki untuk itulah, kita menjaga kebersihan kandang.
Berkiblatlah pada Biosecurity Sektor I
Menurut Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra, pada peternakan sektor 1, peternakan pembibitan/skala besar, biosecurity diterapkan sungguh luar biasa ketat. Siapa yang masuk kandang harus mandi dulu. Masuk lebih ke dalam, mandi lagi.
Namun begitu, meskipun sudah diterapkan sistem closed house, dilakukan desinfeksi,dan berbagai tindakan biosecurity lain, bibit penyakit masih bisa tembus, hal ini menimbulkan pertanyaan letak kesalahannya di mana.
Untuk mengetahui jawabnya, bukan hal yang mudah, apakah karena faktor desinfektan kurang kuat atau terdapatnya celah yang bolong.
Untuk manajemen yang baik, harus konsisten bila ada orang masuk harus disemprot. Jangan kendorkan sanitasi dan biosecurity, minimal pola pada sektor-sektor 2, 3, dan 4 mengikuti pola sektor 1. Syukur-syukur ada pakaian ganti. Dan, teknisi obat hewan merupakan salah satu sumber penularan.Intinya, kuncinya tetap di manajemen. Di dalamnya termasuk mencegah orang kandang keluar masuk tanpa desinfeksi. Harus diingat, pemberian pakan pun jangan sampai tumpah. Sanitasi dan desinfeksi pada sektor 2, 3 dan 4 mesti berkiblat pada sektor 1.
Soal biosecurity terkait ini, bagi Drh Andi merupakan hal sangat penting. Menurutnya, banyak kasus AI yang pihak-pihak tidak mau mengungkap. Pertimbangannya kompleks, dan untuk kesahihan pelaporan membutuhkan ahli dan alat uji. Sehingga kalangan peternakan jelas dalam menyikapi pencampuran virus yang mungkin sudah berubah dan lain-lain kondisi dimana banyak terjadi penyelundupan misal penyelundupan ayam dan bebek dari Malaysia, Brasil yang sudah terbongkar. Supaya, kondisi peternakan ada vaksinasi dan sanitasi peternak membaik.
Kini, angka kematian unggas memang tidak sederas tahun 2003. Namun dengan gejala-gejala yang terungkap oleh beberapa praktisi di artikel terdahulu peternak tetap merasa itu AI. Bahkan Madiun yang dulu kasusnya sepi, sekarang AI-nya positif dengan gejala yang tidak jelas. Jangan dimusnahkan.
Dengan demikian makin jelas benang merah antara Biosecurity dengan AI. Kita pun mesti gagah menghadapi. (YR)