BOLA PANAS DOKTER HEWAN DI PASAR BEBAS [1]
Oleh: Drh Yonathan Rahardjo[2]
Neraca
Andai kuputar waktu
Tak kujumpa rembulan-rembulan
Sedalam inikah
Bahkan
Seberapa dalamkah
Sesungguhnya
Kasihku padamu
Jakarta, Januari-Pebruari 2005
Puisi yang merupakan karya cipta mandiri yang ditulis penulis di atas dimuat di Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan Infovet; kini dipakai pengantar makalah bertema “Media Berbicara Mengenai Konsep Sistem Kebijakan Kesehatan Hewan Nasional Dalam Mempersiapkan Komoditi Peternakan Menuju Era Bebas Asean-China 2010.” AKTOR atau Pemeran Utama dalam kiprah bidang kesehatan hewan siapa lagi, kalau bukan dokter hewan, baik secara hukum, profesi yang berjalan atas dasar sumpah demi Penguasa Alam semesta, secara historis penanganan kesehatan hewan nasional dari masa ke masa, serta tanggungjawab di masyarakat manusia. Kegamangan kebanyakan dokter hewan menjalankan panggilan alam dalam masa kini terlihat begitu kurang gregetnya makhluk khusus ini secara elegan dan gagah membela hak-haknya di masyarakat yang sebenarnya menempel kuat dengan kewajiban dan tanggung jawab dalam lempengan hidup yang sama sebagai seorang DOKTER HEWAN. Wujudnya macam-macam, dalam berbagai lingkup kerja profesi yang seharusnya dengan piawai para dokter hewan memainkan senjata-senjata kelimuan, moral dan estetikanya, yang telah bertahun-tahun digelutinya di fakultas kedokteran hewan, baik di bangku kuliah, laboratorium, bahkan kandang hewan, lalu tempat jual beli hewan.
Masuk dalam perdagangan bebas ASEAN-China-pun, konsep kesehatan hewan nasional dalam menghadapi era ini merupakan bola yang semestinya digiring dengan lihai oleh dokter hewan. Namun bola ini bukan semata bola yang bulat dan enak ditendang seperti Rinaldo dalam menjebol gawang lawan Brasilia, tapi kadang menjadi bola panas yang justru jatuh di tangan dokter hewan yang dituntut untuk bertindak tepat terhadapnya, bukan semata-mata menelan mentah-mentah lalu membakar dirinya dan bangsanya. Tapi bagaimana dokter hewan bisa bermain cantik bekerja sama dengan profesi lain dalam suatu sistem manis yang dikembangkan bersama. Katakanlah dimulai dari lalu lintas perdagangan dan transportasi, yang bisa menjadi hambatan pemasaran produksi peternakan, karena di sinilah muncul berbagai problematika baik dari segi dagang, aturan perpajakan dan teristimewa masalah kesehatan hewan. Satu-satunya pengawasan kesehatan hewan yang dapat dikendalikan adalah ketentuan SANITARY-PHYTOSANITARY yang memberikan kewenangan kepada suatu negara demi keamanan hayati untuk melindungi wilayahnya dari ancaman penularan penyakit dari luar baik dari hewan dan masyarakat manusia. Di sini letak strategis peran dokter hewan sebagai manusia yang bergelut di bidang kesehatan hewan yang merupakan satu-satunya yang punya otoritas/kewenangan di dalam mengendalikan dibantu pelaksana-pelaksananya di bidang kesehatan hewan. Dengan demikian kebijakan dalam kesehatan hewan ini harus benar-benar dapat mengawal dan melindungi potensi sumber daya hayati dalam negeri maupun keamanan di masyarakat dan mampu mencipta kondisi untuk bisa bersaing pada produk peternakan yang akan diekspor. Landasan hukum kita adalah UU No 6/1967 yang pada salah satu fasalnya dimaktub: definisi hewan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang patut disyukuri dan dimanfaatkan di masyarakat. Amanat untuk ditangani secara baik.
Kaitannya dengan KELEMBAGAAN saat ini, terjadi suatu kesimpang siuran dalam penentu kebijakan berkenaan dengan produksi terhadap asal hewan yang berkaitan dengan penyakit. Salah satu contoh kasus terbaru adalah dengan terjadinya wabah Penyakit Sapi Gila, beberapa institusi di Indonesia seperti Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag), serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), masing-masing pengeluarkan peraturan sendiri-sendiri yang saling tumpang tindah, padahal masalahnya sama, menjaga keamanan hayati di tanah air dari resiko masuknya kasus BSE ini. Bahkan antara Dirjen di Departemen Pertanian sendiri, Dirjen Bina Produksi Peternakan dengan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian pun punya kebijakan yang berbeda. Padahal kalau mengacu pada permasalahan mendasarnya, hal ini terkait dengan siapa yang punya otoritas tentang penyakit hewan, yang berarti tentang otoritas veteriner. Mestinya kita punya wadah yang punya fungsi otoritas veteriner, punya lingkup ketahanan yang tidak di bawah departemen tertentu. lembaga di dalam pemerintah yang memiliki otoritas di seluruh wilayah negara itu untuk melaksanakan tindakan sanitari dan proses sertifikasi veteriner internasional yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) serta melakukan supervisi atau audit penerapannya. [3] Dalam kelembagaan selama ini ini kita punya kelemahan dalam menghadapi penyakit dari luar (Exotic Disease) karena belum adanya lembaga nasional yang merupakan laboratorium rujukan ini. Perlu ke depannya menunjuk laboratorium tertentu yang berkompeten untuk penyidikan veteriner. Kaitannya dengan sumber daya manusia, perlu program yang berkaitan dengan profesi veteriner, baik di lapangan, kelembagaan laboratorium, maupun karantina. Peran dokter hewan sangat besar dalam menjaga dan mencipta produk peternakan yang berkualitas, bebas dari penyakit.
Perdagangan bebas menuntut adanya produk peternakan yang berkualitas dan berdaya saing. KARANTINA yang menjadi tanggungjawab dokter hewan meliputi hewan itu sendiri maupun produk asal hewan, serta sarana produksi peternakan seperti pakan, obat-obatan, dan peralatan. Pengalaman dunia peternakan Indonesia yang sangat menyedihkan di dunia karantina adalah masuknya Avian Influenza yang tak lepas dari kegagalan karantina melakukan fungsinya secara ketat.[4] Maka perlu ditekankan lagi bagaimana seharusnya karantina hewan itu dilakukan secara maksimal. Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Karantina ini telah dibuat secara spartan dan seideal mungkin, bahkan dengan dasar pemikiran yang kuat. Terkait dengan arus lalu lintas perdagangan dinyatakan oleh pemerintah, bahwa[5]: peningkatan intensitas dan frekuensi arus lalu lintas barang dan orang dalam konteks perdagangan internasional (antar negara) pada gilirannya tidak mengenal batas-batas antar negara. Maka dalam kondisi tersebut fungsi dan peranan karantina menjadi sangat strategis dan penting dalam melakukan upaya-upaya perlindungan dan penyelamatan serta pengamanan sumberdaya alam hayati ke dalam suatu kesisteman menyangkut hal-hal untuk memajukan, mengawasi, melindungi dan mempertahankan usaha-usaha agribisnis mulai dari hulu sampai ke hilir, bahkan sampai ke pemasaran tingkat nasional/domestik dan internasional. Mengingat pentingnya fungsi dan peranan karantina itu, maka karantina hewan sebagai bagian dari Karantina Pertanian memposisikan diri bersama-sama dengan unit kerja lainnya untuk turut serta meningkatkan, mempertahankan dan melindungi produk-produk pertanian khususnya produk-produk hewan ternak yang menjamin keamanan, mutu, kesehatan dan keutuhan. Namun, mudah untuk mengatakan hal itu, sedangkan untuk penerapannya, sangat diurai hal rinci soal surat kelengkapan dan prosedur tindakan karantina di tempat-tempat tertentu, yang kita sering kedodoran melakukannya karena berbagai alasan.
[1] Materi disampaikan pada Diskusi Nasional “Peranan Mahasiswa dan Media dalam Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasional”, Seminar Pers “Peran Media dalam Membangun Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasional”, Pekan Hari Lahir Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia ke-22, 19 Maret 2005. Tema oleh Panitia: Media Berbicara Mengenai Konsep Sistem Kebijakan Kesehatan Hewan Nasional Dalam Mempersiapkan Komoditi Peternakan Menuju Era Bebas Asean-China 2010
[2] Dokter Hewan Alumnus Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya. Redaktur Pelaksana Majalah Infovet/ Manajer Penerbitan Majalah Infovet PT Gallus Indonesia Utama, Jakarta. Penyusun Buku “Avian Influenza-Hasil Investigasi Lapangan” terbitan PT Gallus Indonesia Utama. Pengasuh Milis dokter_hewan@yahoogroups.com. Penyair, salah satu Sastrawan Jakarta dalam Buku Leksikon Sastrawan Jakarta, terbitan Dewan Kesenian Jakarta, Desember 2003.
[3] Direktur Kesehatan Hewan Ditjennak Deptan Drh. Tri Satya Putri Naipospos Hutabarat, MSc. PhD. dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Departemen Pertanian dan Kedutaan Besar kanada di Jakarta, 23 September 2004 mengatakan, Veterinary Administration merupakan lembaga di dalam pemerintah yang memiliki otoritas di seluruh wilayah negara itu untuk melaksanakan tindakan sanitari dan proses sertifikasi veteriner internasional yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) serta melakukan supervisi atau audit penerapannya.
[4] Infovet Edisi 128 maret 2005, halaman 19, selaku Penulis Buku “Avian Influenza-Hasil Investigasi Lapangan”, Drh. Yonathan Rahardjo menjawab pertanyaan Infovet: Terkait dengan persoalan AI yang tidak kunjung mereda, awal dari kegagalan penanganan kasus AI terletak pada kenyataan arus bisnis ternak dan sarana produksi peternakan yang tidak bisa terkontrol dengan ketat. DOC (Day Old Chicken) maupun ayam impor bisa masuk lewat celah-celah yang bisa ditembus dengan kelihaian para pebisnis. Sementara pemerintah, sering dengan berbagai alasan menyatakan keterbatasannya dalam mengontrol mewabahnya kasus ini. Dan yang ditunjuk sebagai biang di antaranya arus perpindahan burung liar yang diterbangkan angin sesuai ilkim yang membawa virus dari alam ini. Hal ini nampaknya masih sebatas wacana karena soal bocornya impor itu belum ada pengakuan resmi.
[5] Edaran dan Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Karantina oleh Kepala Badan karantina Pertanian Drh. Budi Tri Akoso, MSc. PhD. 26 Oktober 2004 Nomor 1440.a/PD.670.210/L/11/2004