Peristiwa Infovet edisi 175 Oktober 2008
Ketika Ayam Dijual Murah
(( Sebuah dilema muncul lagi ketika menjumpai ayam dihargai murah. Benarkah daging itu baik dan sehat? Padahal kita ingin ayam murah, sehat dan segar. ))
Drh Suhartono dari PT Japfa Comfeed Makassar mengungkap kalau harga ayam hidup 13000 per kg di pasaran, maka menjadi karkas harga 20800 per kg. Katakanlah dibagi menjadi 8 potong maka harga per potong menjadi 2,600 rupiah. Jadi, menurut Hartono, “Masih masuk akal kalau ada penjual nasi + ayam goreng + teh botol = 7500 rupiah.”
Itu baru karkas, kata Hartono, “Belum jerohan (hati empela), kepala leher atau pun ceker yang harganya jauh lebih murah dari pada karkas utuh. Kalau potongan nyalebih kecil lagi misalnya dibagi menjadi 12 kan jatuhnya lebih murah lagi.”
Drh Junta Emilia Sondakh mengungkap daging ayam yang sudah murah masih banyak yang meragukan kesegarannya, makanya daging sapi limbah hotel yang pantas untuk orang miskin. Harus diakui seperti ayam yang mati di kandang dalam pengangkutan dan di pedagang besar sebelum masuk ke pemotong benar adanya.
Menurutnya, hitungan Drh Suhartono memang masuk akal, tapi, “Apa ya mau konsumen makan dengan sekerat nyaris mirip jari manis untuk lauk, pedagang nasipun tidak tega menjual sekerat. Maka disediakan yang agak layak mesti tidak bisa dibantah asal daging ayam dari tiren. Ini fakta kok.”
Coba tengok di pasar ayam, lanjut Junta Emilia Sondakh, pengepul berapa puluh ekor ayam tiren setiap hari. Apa mereka mau merugi? Dengan alasan untuk pakan lele, atau untuk buaya. Jumlahnya berapa untuk kebutuhan konsumen lele dan buaya? Hendaknya fakta ini jangan dinafikan. Hanya itu permasalahannya.”
Namun demikian sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa banyak ayam mati di kandang, dalam pengangkutan dan juga ketika berada di pangkalan. Demikian Christian Admiral Janggel mengungkap, “Jadi khusus daging ayam banyak sekali beredar daging ayam bangkai (tiren) yang sulit untuk dicarikan jalan keluar.”
Lanjutnya, “Apakah masuk akal jika kita makan di stasiun kereta, terminal dengan 5000-7500 per porsi dengan daging ayam segar? Jelas tidak masuk akal, karena dari mana penjual nasi itu dpt untung kalau memnag daging ayamnya tidak dari ayam bangkai. Kembali tentang daging sampah dari hotel dan restauran, itu hanya pucuk dari gunung es.
Memang baru-baru ini dijumpai daging sisa restoran dan hotel di Jakarta ada yang didaur ulang lalu dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga relatif murah. Ditemukan daging yang dipungut dari tempat sampah dijual dalam bentuk olahan seperti bakso, rendang dan sop. Makanan olahan berbahan daging daur ulang, bisa dilihat sekilas, sama dengan makanan olahan berbahan daging segar. Sebelum dijual di pasar, daging sisa tersebut diberi pewarna agar mirip daging segar. Pewarna yang digunakan adalah pewarna pakaian.
Kronologisnya pemulung memilah sisa makanan dari hotel ataupun restoran, lalu mengirim daging sisa itu ke tempat pedagang makanan untuk diolah dengan membayar rp 100.000 ke setiap pemasok yang kemudian mengolah daging itu secara dicuci dengan formalin, direbus dan digoreng, diberi warna dengan cara disepuh, selesai diwarna daging siap dijual di pasar.
Dr Drh Denny Lukman MSc pakar Kesmavet dari FKH mengungkap sangat memprihatinkan dan menyedihkan kondisi makanan kita, khususnya pangan asal hewan. Kekurang pahaman sebagian masyarakat, ketidakpedulian produsen dan konsumen, serta kelemahan pengawasan dari pemerintah membuat hal ini terjadi.
Dari aspek kesmavet, kata Drh Denny Lukman, “Daging "sampah" ini sangat tidak layak dikonsumsi manusia, mengingat daging tersebut sudah dibuang, bersatu dengan sampah lain, dan kemungkinan terjadi proses pembusukan/kerusakan yang menjadikan daging tidak layak dan bahkan memungkinkan mengganggu kesehatan konsumen.”
Gangguan kesehatan yang mungkin muncul, lanjut Denny, “Antara lain diare, muntah, pusing, dan dalam jangka waktu lama muncul gangguan hati, ginjal dan saluran pencernaan, munculnya kanker. Hal ini mungkin jika proses pengolahan ditambahkan bahan-bahan yang bukan untuk pangan (pengawet formalin, zat warna tekstil). Bahan-bahan tersebut bersifat karsinogenik.”
Dari aspek hukum, maka praktek tersebut melanggar pasal-pasal di undang-undang pangan nomor 7 tahun 1996 dan undang-undang perlindungan konsumen nomor 8 tahun 1999.
Pasal yang dilanggar dalam uu pangan adalah Pasal 6 setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpangan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib: memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan manusia;
Lalu Pasal 10 di mana setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan dilarang atau melampui ambang batas maksimal yang ditetapkan.
Kemudian Pasal 21 di mana setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan; pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia
Adapun sanksi Undang-Undang Pangan: Pasal 55 barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 10 dan 21 dpt dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun dan atau denda paling banyak 600 juta rupiah.
Lalu Pasal 56 barang siapa dengan kelalaiannya, melanggar pasal 10 dan 21, dapat dikenakan pidana penjara maksimal 1 tahun dan atau denda paling banyak 120 juta rupiah.
Kemudian Pasal 59 barang siapa yang melanggar pasal 6 dapat dikenakan pidana penjara maksimal 4 tahun dan atau denda paling banyak 480 juta rupiah.
Pasal yang dilanggar dalam uu perlindungan konsumen adalah Pasal 8 (1) pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang (b) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangan (3) pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
Sanksi pelanggaran pasal 8, sesuai pasal 62 akan dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana denda paling banyak 2 milyar rupiah. Sedangkan dari aspek kesmavet, hal ini juga melanggar pp nomor 22 tahun 1983 tentang kesmavet. Sayangnya dalam pp ini tidak ada sanksi.
Berdasarkan kasus ini, Drh Denny Lukman berpendapat memandang perlu dan urgen adanya rencana dan implementasi sistem pasar sehat. Tentunya sistem ini disusun oleh berbagai instansi, perguruan tinggi, organisasi-organisasi. Perlu dirumuskan pengawasan dan penanggung jawab. Sistem pasar sehat ini harus mampu menjamin (1) tersedianya pangan yang aman, layak dan halal; (2) kesehatan manusia/masyarakat (dicegah dari penularan penyakit zoonotik yang ada pada hewan hidup yang dijual di pasar, dicegah dari kasus foodborne illness akibat konsumsi pangan asal hewan); (3) kebersihan dan kelestarian lingkungan sekitar pasar.
Selain itu, “Perlu adanya peraturan dan pengawasan tentang sampah makanan hotel-restoran yang diperuntukkan untuk pakan hewan. Hal ini untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan serta menjaga kesehatan ternak yang akan diberikan pakan tersebut,” tambah Drh Denny.
Drh Denny menegaskan, “Saya berharap agar pemerintah memiliki komitmen tinggi untuk menuntaskan masalah ini, serta mendidik konsumen dan pedagang untuk meningkatkan rasa kepedulian dan tanggung jawab demi terwujudnya keamanan pangan dan kesehatan masyarakat.”
Mudah-mudahan setiap momentum yang ada apapun momentumnya, kata Iwan Berri Prima dari FKH IPB, “Terutama yang terkait dengan bahan pangan asal hewan/ kesmavet, mampu kita maknai sebagai bentuk pentingnya otoritas veteriner yang tegas, jelas dan lugas di negara ini. (dokter_hewan/ YR)
Ketika Ayam Dijual Murah
(( Sebuah dilema muncul lagi ketika menjumpai ayam dihargai murah. Benarkah daging itu baik dan sehat? Padahal kita ingin ayam murah, sehat dan segar. ))
Drh Suhartono dari PT Japfa Comfeed Makassar mengungkap kalau harga ayam hidup 13000 per kg di pasaran, maka menjadi karkas harga 20800 per kg. Katakanlah dibagi menjadi 8 potong maka harga per potong menjadi 2,600 rupiah. Jadi, menurut Hartono, “Masih masuk akal kalau ada penjual nasi + ayam goreng + teh botol = 7500 rupiah.”
Itu baru karkas, kata Hartono, “Belum jerohan (hati empela), kepala leher atau pun ceker yang harganya jauh lebih murah dari pada karkas utuh. Kalau potongan nyalebih kecil lagi misalnya dibagi menjadi 12 kan jatuhnya lebih murah lagi.”
Drh Junta Emilia Sondakh mengungkap daging ayam yang sudah murah masih banyak yang meragukan kesegarannya, makanya daging sapi limbah hotel yang pantas untuk orang miskin. Harus diakui seperti ayam yang mati di kandang dalam pengangkutan dan di pedagang besar sebelum masuk ke pemotong benar adanya.
Menurutnya, hitungan Drh Suhartono memang masuk akal, tapi, “Apa ya mau konsumen makan dengan sekerat nyaris mirip jari manis untuk lauk, pedagang nasipun tidak tega menjual sekerat. Maka disediakan yang agak layak mesti tidak bisa dibantah asal daging ayam dari tiren. Ini fakta kok.”
Coba tengok di pasar ayam, lanjut Junta Emilia Sondakh, pengepul berapa puluh ekor ayam tiren setiap hari. Apa mereka mau merugi? Dengan alasan untuk pakan lele, atau untuk buaya. Jumlahnya berapa untuk kebutuhan konsumen lele dan buaya? Hendaknya fakta ini jangan dinafikan. Hanya itu permasalahannya.”
Namun demikian sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa banyak ayam mati di kandang, dalam pengangkutan dan juga ketika berada di pangkalan. Demikian Christian Admiral Janggel mengungkap, “Jadi khusus daging ayam banyak sekali beredar daging ayam bangkai (tiren) yang sulit untuk dicarikan jalan keluar.”
Lanjutnya, “Apakah masuk akal jika kita makan di stasiun kereta, terminal dengan 5000-7500 per porsi dengan daging ayam segar? Jelas tidak masuk akal, karena dari mana penjual nasi itu dpt untung kalau memnag daging ayamnya tidak dari ayam bangkai. Kembali tentang daging sampah dari hotel dan restauran, itu hanya pucuk dari gunung es.
Memang baru-baru ini dijumpai daging sisa restoran dan hotel di Jakarta ada yang didaur ulang lalu dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga relatif murah. Ditemukan daging yang dipungut dari tempat sampah dijual dalam bentuk olahan seperti bakso, rendang dan sop. Makanan olahan berbahan daging daur ulang, bisa dilihat sekilas, sama dengan makanan olahan berbahan daging segar. Sebelum dijual di pasar, daging sisa tersebut diberi pewarna agar mirip daging segar. Pewarna yang digunakan adalah pewarna pakaian.
Kronologisnya pemulung memilah sisa makanan dari hotel ataupun restoran, lalu mengirim daging sisa itu ke tempat pedagang makanan untuk diolah dengan membayar rp 100.000 ke setiap pemasok yang kemudian mengolah daging itu secara dicuci dengan formalin, direbus dan digoreng, diberi warna dengan cara disepuh, selesai diwarna daging siap dijual di pasar.
Dr Drh Denny Lukman MSc pakar Kesmavet dari FKH mengungkap sangat memprihatinkan dan menyedihkan kondisi makanan kita, khususnya pangan asal hewan. Kekurang pahaman sebagian masyarakat, ketidakpedulian produsen dan konsumen, serta kelemahan pengawasan dari pemerintah membuat hal ini terjadi.
Dari aspek kesmavet, kata Drh Denny Lukman, “Daging "sampah" ini sangat tidak layak dikonsumsi manusia, mengingat daging tersebut sudah dibuang, bersatu dengan sampah lain, dan kemungkinan terjadi proses pembusukan/kerusakan yang menjadikan daging tidak layak dan bahkan memungkinkan mengganggu kesehatan konsumen.”
Gangguan kesehatan yang mungkin muncul, lanjut Denny, “Antara lain diare, muntah, pusing, dan dalam jangka waktu lama muncul gangguan hati, ginjal dan saluran pencernaan, munculnya kanker. Hal ini mungkin jika proses pengolahan ditambahkan bahan-bahan yang bukan untuk pangan (pengawet formalin, zat warna tekstil). Bahan-bahan tersebut bersifat karsinogenik.”
Dari aspek hukum, maka praktek tersebut melanggar pasal-pasal di undang-undang pangan nomor 7 tahun 1996 dan undang-undang perlindungan konsumen nomor 8 tahun 1999.
Pasal yang dilanggar dalam uu pangan adalah Pasal 6 setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpangan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib: memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan manusia;
Lalu Pasal 10 di mana setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan dilarang atau melampui ambang batas maksimal yang ditetapkan.
Kemudian Pasal 21 di mana setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan; pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia
Adapun sanksi Undang-Undang Pangan: Pasal 55 barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 10 dan 21 dpt dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun dan atau denda paling banyak 600 juta rupiah.
Lalu Pasal 56 barang siapa dengan kelalaiannya, melanggar pasal 10 dan 21, dapat dikenakan pidana penjara maksimal 1 tahun dan atau denda paling banyak 120 juta rupiah.
Kemudian Pasal 59 barang siapa yang melanggar pasal 6 dapat dikenakan pidana penjara maksimal 4 tahun dan atau denda paling banyak 480 juta rupiah.
Pasal yang dilanggar dalam uu perlindungan konsumen adalah Pasal 8 (1) pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang (b) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangan (3) pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
Sanksi pelanggaran pasal 8, sesuai pasal 62 akan dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana denda paling banyak 2 milyar rupiah. Sedangkan dari aspek kesmavet, hal ini juga melanggar pp nomor 22 tahun 1983 tentang kesmavet. Sayangnya dalam pp ini tidak ada sanksi.
Berdasarkan kasus ini, Drh Denny Lukman berpendapat memandang perlu dan urgen adanya rencana dan implementasi sistem pasar sehat. Tentunya sistem ini disusun oleh berbagai instansi, perguruan tinggi, organisasi-organisasi. Perlu dirumuskan pengawasan dan penanggung jawab. Sistem pasar sehat ini harus mampu menjamin (1) tersedianya pangan yang aman, layak dan halal; (2) kesehatan manusia/masyarakat (dicegah dari penularan penyakit zoonotik yang ada pada hewan hidup yang dijual di pasar, dicegah dari kasus foodborne illness akibat konsumsi pangan asal hewan); (3) kebersihan dan kelestarian lingkungan sekitar pasar.
Selain itu, “Perlu adanya peraturan dan pengawasan tentang sampah makanan hotel-restoran yang diperuntukkan untuk pakan hewan. Hal ini untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan serta menjaga kesehatan ternak yang akan diberikan pakan tersebut,” tambah Drh Denny.
Drh Denny menegaskan, “Saya berharap agar pemerintah memiliki komitmen tinggi untuk menuntaskan masalah ini, serta mendidik konsumen dan pedagang untuk meningkatkan rasa kepedulian dan tanggung jawab demi terwujudnya keamanan pangan dan kesehatan masyarakat.”
Mudah-mudahan setiap momentum yang ada apapun momentumnya, kata Iwan Berri Prima dari FKH IPB, “Terutama yang terkait dengan bahan pangan asal hewan/ kesmavet, mampu kita maknai sebagai bentuk pentingnya otoritas veteriner yang tegas, jelas dan lugas di negara ini. (dokter_hewan/ YR)